Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerita Legenda dalam Upacara Yadnya Kasada di Bromo

Liburan ke kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur. Salah satunya adalah mendatangi event Eksotika Bromo yang rencananya akan digelar 27-28 Juli 2024 di Lautan Pasir Bromo. Masuk dalam daftar Karisma Event Nusantara (KEN) 2024, Eksotika Bromo merupakan sebuah festival dan pesta budaya yang akan memberikan pengalaman spiritual melalui ekspresi tradisi yang menyatu dengan keindahan alam.

Tari Remo khas dari Bromo
Tari Remo khas dari Bromo (Shutterstock/Eva Afifah)

Selain alam yang memesona, Bromo juga memiliki latar legenda yang menarik untuk dikulik. Hal ini bisa dilihat dari kepercayaan dan ritual yang masih dilakukan oleh masyarakat lokal secara turun-temurun hingga sekarang. Satu di antaranya adalah upacara adat Yadnya Kasada yang dilakukan oleh masyarakat asli Bromo, yakni Suku Tengger. 

Sebagai upaya menghormati masyarakat lokal yang merayakan upacara adat Yadnya Kasada, kawasan wisata Gunung Bromo dan sekitarnya ditutup selama empat hari untuk masyarakat umum. Tepatnya pada 21-24 Juni 2024. Lantas, apa itu upacara adat Yadnya Kasada?

Yadnya Kasada, Upacara Adat yang Sarat Makna

Yadnya Kasada adalah sebuah upacara persembahan yang dilakukan dengan melempar sesaji ke kawah. Upacara ini sebagai bentuk penghormatan sekaligus rasa syukur serta bakti kepada Sang Hyang Widhi dan leluhur. Upacara ini dilakukan setiap bulan Kasada hari ke-15 dalam penanggalan tradisional Hindu Tengger. 

Ritual adat Yadnya Kasada tidak hanya untuk memohon keberkahan, tapi juga meminta keselamatan dan perlindungan dari malapetaka. Menariknya, upacara adat Yadnya Kasada yang dilakukan Suku Tengger ini memiliki daya tarik storynomics tourism yang menarik diketahui wisatawan nusantara maupun mancanegara. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari sejarah, sekaligus makna kuat dan mendalam di balik rangkaian upacara adat Yadnya Kasada.

Pura Luhur Poten di kawasan Bromo
Pura Luhur Poten di kawasan Bromo (Shutterstock/saiko3p)

Menurut kepercayaan, masyarakat Suku Tengger melakukan upacara Yadnya Kasada sebagai bentuk penghormatan atas pengorbanan yang dilakukan Kusuma, yakni anak dari pasangan Jaka Seger dengan seorang putri Raja Majapahit yang bernama Roro Anteng. 

Kala itu, Roro Anteng dan Jaka Seger melakukan pertapaan di Gunung Bromo untuk meminta keturunan kepada penunggu gunung, yakni Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam pertapaan tersebut, keduanya berjanji akan mengorbankan anaknya kepada Kawah Gunung Bromo jika doanya dikabulkan. 

Singkat cerita, akhirnya Roro Anteng dan Jaka Seger dikaruniai 25 anak. Namun, keduanya melupakan janji yang telah diikrarkan saat memohon keturunan. Sehingga, membuat sang Dewa marah. Hingga akhirnya, mereka pun menceritakan janji tersebut pada semua anaknya. Tanpa disangka, Kusuma, sebagai anak terakhir, rela mengorbankan dirinya sebagai tumbal agar orang-orang yang ditinggalkan, termasuk keluarganya dapat hidup damai.

Namun, kala itu Kusuma mengungkapkan jika ia tetap meminta persembahan untuk Kawah Gunung Bromo setiap tanggal 15 bulan Kasada. Berawal dari hal tersebut, masyarakat Suku Tengger rutin melakukan ritual melemparkan persembahan ke dalam kawah sebagai bentuk penghormatan, sekalius memohon keberkahan, keselamatan, serta perlindungan. 

Storynomics di Balik Terciptanya Gunung Batok di Bromo

Selain legenda di Yadnya Kasada, kawasan Gunung Bromo juga punya storynomics yang tidak kalah populer adalah cerita di balik terciptanya Gunung Batok, atau gunung yang berada tepat di sebelah Gunung Bromo.

Menurut legenda, kemunculan gunung nonaktif dengan ketinggian 2.440 mdpl ini dilatarbelakangi kisah cinta dua sejoli. Namanya adalah Joko Seger yang terkenal dengan genggaman dan tendangan kuat, dengan seorang perempuan yang lahir tanpa tangisan bernama Rara Anteng. Sudah kenal sejak kecil, akhirnya keduanya pun saling jatuh hati. 

Sayangnya, karena kecantikannya, hidup Rara Anteng kerap tidak tenang. Hal ini disebabkan karena ia menjadi “penyebab” terjadinya pertempuran akibat menolak lamaran para putra raja dan pengusaha. Hingga akhirnya datang seorang bajak laut yang ingin melamar. Rara Anteng pun memutar otak agar bisa menolak lamaran tersebut, tanpa membuat bajak laut murka dan membunuh warga di desanya.

Singkat cerita, Rara Anteng mengungkapkan jika ia bersedia dipersunting asalkan sang bajak laut bisa membuat lautan padang pasir dengan mengeruk Gunung Bromo sebelum ayam berkokok saat fajar. Di tengah pengerjaannya, Rara Anteng dengan teman-temannya berinisiatif menumbuk padi agar ayam jantan berkokok sebelum fajar, dan berhasil.

Karena gagal, bajak laut merasa kecewa dan pergi sambil melemparkan cangkang berbentuk batok yang digunakan untuk mengeruk pasir. Di tengah kepergiannya, secara ajaib cangkang tersebut menjelma menjadi sebuah gunung yang saat ini dikenal dengan Gunung Batok. Sejak saat itu, Rara Anteng dan Joko Seger menikah dan mendirikan sebuah desa bernama “Tengger”, yang diambil dari gabungan kedua nama mereka: Anteng dan Seger.

@Ragam Jatim