Update

Candi Sewu: Jejak Agung Peradaban Buddha di Tanah Jawa yang Terselubung Legenda dan Prasasti

Berdiri megah di antara perbukitan dan rerimbunan di kawasan Prambanan, Candi Sewu bukan sekadar situs arkeologi, melainkan bukti otentik bahwa Nusantara pernah menjadi episentrum kebudayaan Buddha Mahayana terbesar di Asia Tenggara. Namanya boleh saja berarti “seribu candi”, namun lebih dari angka, Candi Sewu adalah narasi batu yang merentang dari lembar lontar, bunyi prasasti, hingga kitab-kitab kuno warisan leluhur.

RagamJatim.id
– Berdiri megah di antara perbukitan dan rerimbunan di kawasan Prambanan, Candi Sewu bukan sekadar situs arkeologi, melainkan bukti otentik bahwa Nusantara pernah menjadi episentrum kebudayaan Buddha Mahayana terbesar di Asia Tenggara. Namanya boleh saja berarti “seribu candi”, namun lebih dari angka, Candi Sewu adalah narasi batu yang merentang dari lembar lontar, bunyi prasasti, hingga kitab-kitab kuno warisan leluhur.

Arsitektur yang Menyuarakan Spiritualitas

Secara administratif, Candi Sewu terletak di Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Hanya berjarak sekitar 800 meter di utara Candi Prambanan. Situs ini merupakan kompleks candi Buddha terbesar kedua di Indonesia setelah Borobudur. Namun uniknya, letaknya berdampingan dengan Candi Prambanan yang bercorak Hindu sebuah fakta yang menandakan keharmonisan spiritualitas pada masa Jawa Kuno.

Kompleks ini terdiri atas satu candi utama yang menghadap timur, dikelilingi oleh delapan candi pengapit dan 240 candi perwara. Dalam terminologi arsitektur Buddhis, Candi Sewu termasuk tipe mandala, merepresentasikan kosmos Buddhis dengan stupa pusat sebagai poros spiritual.

Batu andesit yang digunakan, pola hiasan makara, serta patung-patung Bodhisatwa yang masih tersisa, membuktikan tingginya seni pahat dan ketekunan spiritual masyarakat Jawa abad ke-8.

Prasasti Manjusrigrha: Bukti Sejarah yang Nyata

Sejarah resmi Candi Sewu diungkap oleh Prasasti Manjusrigrha bertahun 792 M, yang ditemukan di sekitar situs. Dalam prasasti berbahasa Sanskerta dan aksara Pranagari ini, disebutkan bahwa candi ini dibangun atas perintah Maharaja Indra dari Wangsa Syailendra, ayahanda dari Pramodhawardhani, tokoh penting pembangunan Borobudur.

Nama “Manjusrigrha” berarti “Rumah Manjusri” yakni Bodhisatwa Kebijaksanaan dalam ajaran Mahayana. Ini mengukuhkan bahwa Candi Sewu adalah tempat pemujaan utama umat Buddha Mahayana pada masa itu. Para arkeolog meyakini bahwa kompleks ini juga berfungsi sebagai pusat pendidikan dan meditasi, layaknya vihara agung.

Catatan dari Lontar dan Naskah Kuno

Dalam Lontar Kakawin Nagarakretagama karya Mpu Prapanca yang ditulis pada abad ke-14, meskipun tidak menyebut Candi Sewu secara eksplisit, terdapat narasi mengenai “biara-biara Buddha yang agung di wilayah timur Mataram”. Banyak sejarawan menduga salah satunya merujuk pada kompleks Sewu.

Sementara itu, dalam naskah kuno berjudul Sanghyang Kamahayanikan, disebutkan ajaran-ajaran tantrik dan sistem mandala Buddhis yang identik dengan arsitektur Candi Sewu. Struktur candi yang menyerupai diagram mandala tidak hanya bersifat simbolik tetapi juga berfungsi dalam praktik meditasi tingkat tinggi.

Kitab Tantu Panggelaran pun menyebut tentang “padharman agung” tempat para resi dan bhikkhu bermeditasi menuju kebuddhaan di wilayah “antara Prambanan dan gunung api suci” lokasi yang konsisten dengan kawasan Sewu.

Legenda Roro Jonggrang: Antara Mitos dan Kode Historis

Nama “Candi Sewu” sering dikaitkan dengan legenda Roro Jonggrang kisah cinta dan kutukan antara Bandung Bondowoso dan putri dari kerajaan Baka. Dalam kisah rakyat ini, Bandung menciptakan seribu candi semalam demi mempersunting sang putri. Meski kisah ini beraroma mitologi, namun arkeolog melihatnya sebagai refleksi dari memori kolektif masyarakat terhadap keagungan pembangunan candi di masa lampau.

Legenda ini bisa jadi merupakan bentuk transformasi lisan dari upaya pelestarian memori sejarah, di saat masyarakat telah berpindah keyakinan atau kehilangan akses terhadap tulisan kuno.

Misteri dan Simbolisme Spiritualitas

Stupa pusat Candi Sewu tidak menyimpan arca Buddha seperti lazimnya. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa arca tersebut pernah ada namun hilang karena penjarahan atau perpindahan fungsi tempat suci. Beberapa peneliti meyakini, arca utama tersebut adalah perwujudan Manjusri, yang digambarkan memegang pedang kebijaksanaan dan kitab Prajnaparamita.

Hal ini diperkuat oleh penemuan arca-arca Avalokitesvara dan Vajrapani di sekitar situs, dua sosok penting dalam panteon Mahayana.

Pusaka Budaya yang Terus Dihidupkan

Restorasi Candi Sewu dimulai sejak era kolonial Belanda dan masih berlangsung hingga kini. Pemerintah Indonesia melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya telah menetapkan situs ini sebagai Cagar Budaya Nasional. Perayaan Hari Waisak sering kali juga mengikutsertakan Candi Sewu dalam rangkaian ritual keagamaan, menjadikannya tempat ziarah spiritual dan refleksi historis yang tak ternilai.

Kesimpulan: Sewu, Jejak yang Tak Pernah Sepi

Candi Sewu bukan hanya simbol kebesaran Dinasti Syailendra, tetapi juga titik temu peradaban, spiritualitas, dan seni tinggi yang diwariskan oleh leluhur Jawa. Dengan menyandingkan kisah dari prasasti, lontar, dan kitab suci kuno, kita tidak hanya mengenal sejarah batu, tetapi juga sejarah batin tentang bagaimana manusia Jawa kuno memaknai kebijaksanaan, kebaktian, dan kesucian ruang hidupnya.
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar