Jejak Syailendra di Sumatera dan Sriwijaya: Ketika Para Raja Buddha Melanjutkan Takhta di Barat Nusantara
0 menit baca
RagamJatim.id - Setelah terusir dari Mataram karena konflik dengan Dinasti Sanjaya, Dinasti Syailendra tidak serta-merta menghilang. Mereka justru melanjutkan warisan kekuasaan dan spiritualitasnya jauh ke barat, ke tanah Sumatera, tepatnya dalam kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Jejak-jejaknya tak hanya tertulis dalam prasasti dan lontar, tetapi juga tergurat dalam jaringan diplomatik Asia Tenggara hingga India. Inilah babak lanjutan dari keluarga Buddha terbesar Nusantara yang jarang dikisahkan secara utuh.
Dari Jawa ke Sumatera: Perpindahan Dinasti Syailendra
Pasca kekalahan politik yang dialami oleh Balaputradewa dari tangan Rakai Pikatan, seperti dicatat dalam Prasasti Loro Jonggrang dan diindikasikan dalam Prasasti Kayumwungan, Balaputradewa mundur dari Mataram dan mencari basis kekuasaan baru. Tempat yang ia tuju bukan asing: Sriwijaya, kerajaan maritim yang telah lama menjalin hubungan erat dengan Dinasti Syailendra melalui jalur agama dan budaya Buddha.
Dalam Prasasti Nalanda (860 M) di India Timur yang dikeluarkan oleh Raja Devapaladeva dari Dinasti Pala, nama Balaputradewa disebut secara jelas sebagai "raja dari Suvarnadvipa (Sumatera)" dan "keturunan keluarga Syailendra yang agung." Prasasti ini menyebut bahwa Balaputradewa mendirikan sebuah biara Buddha di Nalanda untuk para pelajar dari Sriwijaya dan Nusantara.
Hal ini menjadi bukti konkret bahwa Balaputradewa telah menjadi penguasa penting di Sumatera, dan Syailendra mendapatkan kehidupan baru melalui Sriwijaya.
Sriwijaya: Basis Kekuasaan Baru Syailendra
Sriwijaya, kerajaan maritim yang berpusat di sekitar Palembang, Sumatera Selatan, memang dikenal sebagai kekuatan besar dalam perdagangan dan penyebaran agama Buddha Mahayana sejak abad ke-7. Hubungan antara Sriwijaya dan Syailendra terjalin kuat, bahkan sejak awal kedua dinasti itu berdiri.
Prasasti Kedukan Bukit (683 M) dan Prasasti Talang Tuwo mencatat aktivitas keagamaan dan ekspansi kekuasaan Sriwijaya ke daerah-daerah lain di Nusantara, termasuk kemungkinan ke wilayah Jawa. Oleh karena itu, ketika Balaputradewa datang ke Sumatera, ia tak hanya diterima ia menyatukan garis keturunan dengan elite Sriwijaya yang juga beraliran Buddha.
Di era kekuasaannya, Balaputradewa memperkuat Sriwijaya sebagai pusat studi dan penyebaran Buddha di Asia Tenggara. Ia mempererat hubungan dengan India Timur, Tiongkok, dan kerajaan-kerajaan di Semenanjung Melayu.
Jejak Arkeologis dan Diplomatik Kekuatan Syailendra di Sriwijaya
Selain Prasasti Nalanda, terdapat banyak bukti sejarah lain yang menunjukkan kehadiran dan pengaruh Dinasti Syailendra di Sumatera:
1. Candi Muaro Jambi
Terletak di Jambi sekarang, situs ini merupakan kompleks percandian Buddha terbesar di Asia Tenggara setelah Borobudur. Arsitekturnya mencerminkan kesinambungan gaya Buddha Mahayana dari Jawa ke Sumatera.
2. Hubungan Internasional
Catatan dari I-Tsing, biksu Tiongkok yang mengunjungi Sriwijaya pada abad ke-7, menyebutkan bahwa Sriwijaya adalah pusat pembelajaran Buddha kelas dunia. Masa pemerintahan Balaputradewa dan penerusnya memperkuat reputasi itu.
3. Prasasti Nalanda
Di sinilah Balaputradewa disebut sebagai raja besar dari keluarga Syailendra yang membangun Vihara untuk pelajar-pelajar dari Nusantara. Ia disebut sebagai putra dari Tara (putri kerajaan Sriwijaya) dan cucu Samaratungga (raja agung Syailendra di Jawa). Inilah bukti silsilah biologis dan politik yang menyatukan Jawa dan Sumatera.
Simbol Agung Perpaduan: Dari Borobudur ke Biara Nalanda
Jika Borobudur adalah simbol kejayaan Syailendra di tanah Jawa, maka Vihara di Nalanda adalah simbol globalisasi Syailendra di ranah spiritual Buddha. Keduanya merepresentasikan misi besar Dinasti Syailendra: menyebarkan kebijaksanaan Buddha Mahayana ke seluruh dunia, bukan dengan pedang, melainkan dengan kitab, arsitektur, dan diplomasi.
Di Nalanda, hingga hari ini, masih terdapat reruntuhan Vihara yang bertuliskan nama Balaputradewa dan referensi terhadap leluhur Syailendra di Jawa. Ini menjadi penghubung paling otentik antara dua pusat kebudayaan kuno: Nusantara dan India.
Akhir Dinasti Syailendra di Sumatera
Pengaruh Dinasti Syailendra di Sriwijaya melemah secara perlahan seiring munculnya tantangan dari luar seperti:
Serangan Kerajaan Chola dari India Selatan pada abad ke-11 yang menyerbu Sriwijaya.
Kemunculan kerajaan-kerajaan lokal seperti Melayu Dharmasraya, Jambi, dan Minangkabau yang memisahkan diri dari struktur Sriwijaya.
Islamisasi pesisir Sumatera yang menandai bergesernya pusat kekuasaan dari Buddha ke Islam.
Namun, jejak Dinasti Syailendra tetap abadi dalam struktur sosial dan spiritual masyarakat Sumatera hingga hari ini, terutama dalam pengaruh Buddha Mahayana yang masih hidup di komunitas tertentu, serta dalam jejak bahasa, prasasti, dan arsitektur.
Penutup: Syailendra Tidak Musnah, Ia Menyebar
Dinasti Syailendra mungkin kehilangan takhtanya di Jawa, tapi mereka menemukan kejayaan baru di tanah yang lain. Dari Jawa ke Sumatera, dari Borobudur ke Nalanda, Syailendra bukan dinasti yang mati mereka berubah menjadi gerakan budaya yang mendunia.
Hari ini, ketika kita menelusuri jalur sejarah Sriwijaya dan melihat reruntuhan candi di Sumatera, kita tak hanya sedang melihat sisa batu. Kita sedang menyentuh fragmen perjalanan panjang Dinasti Syailendra yang menolak untuk lenyap dalam diam.