Pramodhawardhani: Maharatu Bhumi Mataram di Balik Megahnya Borobudur dan Prambanan
0 menit baca
![]() |
Foto Ilustrasi Istimewa |
RagamJatim.id – Di tengah semesta arsitektur candi-candi agung Jawa abad ke-9, nama-nama raja besar kerap dielu-elukan. Namun, jauh di dalam relief, pada prasasti yang nyaris dilupakan, terselip nama Pramodhawardhani seorang putri, permaisuri, sekaligus negarawati agung dari Wangsa Sailendra, yang membentangkan jembatan emas antara dua agama, dua dinasti, dan dua budaya besar di Tanah Jawa.
Putri Samaratungga dan Warisan Wangsa Sailendra
Nama Pramodhawardhani tercantum dalam Prasasti Kayumwungan bertarikh 746 Śaka (824 M), yang menyebutnya sebagai putri dari Raja Samaratungga, penguasa besar Wangsa Śailendra yang beragama Buddha Mahāyāna. Wangsa ini dikenal sebagai pelindung kitab suci dan penopang vihara, yang menanamkan pengaruhnya dari tanah Jawa hingga Sriwijaya.
Dalam struktur dinasti, Pramodhawardhani adalah cucu dari Samaragrawira tokoh penting yang disebutkan dalam inskripsi Nalanda (India), dan yang diduga kuat membangun relasi Buddhis lintas samudra dengan Nalanda Mahavihara. Ia juga diyakini sebagai cicit dari Raja Dharanindra (atau Dharmasetu), yang dikenal dalam Prasasti Kelurak sebagai pemimpin ekspedisi agung dan pelindung ajaran Buddha Tantrayana.
Pernikahan Lintas Iman: Politik Cinta Dua Dinasti
Pada sekitar tahun 832 M, Pramodhawardhani dinikahkan dengan Rakai Pikatan Dyah Saladu, pangeran dari Wangsa Sanjaya dinasti rival yang menganut Hindu Shaivisme. Dalam Prasasti Mantyasih, Wangsa Sanjaya dikenal sebagai pelanjut tradisi Hindu sejak masa Rakai Panangkaran.
Pernikahan Pramodhawardhani dan Pikatan bukan hanya pengikat dua insan, melainkan penyatu dua kutub politik yang semula bertentangan. Melalui aliansi ini, konflik antara Buddhis Śailendra dan Hindu Sanjaya mereda, dan terciptalah “ekumenisme Jawa” yang unik di mana Borobudur dan Prambanan berdiri bersebelahan, bukan sebagai simbol dominasi, tapi harmoni.
Borobudur: Mahakarya yang Diresmikan Seorang Ratu
Borobudur, dalam banyak sumber populer, sering dikaitkan dengan Samaratungga sebagai inisiator. Namun dalam Prasasti Kayumwungan, justru nama Pramodhawardhani yang disebut sebagai pihak yang “menetapkan peresmian Jinalaya bertingkat-tingkat nan agung,” yang dipercaya merujuk langsung pada Borobudur.
Sementara itu, dalam Prasasti Tri Tepusan (842 M), Pramodhawardhani disebut sebagai Sri Kahulunan yang membebaskan beberapa desa dari kewajiban pajak. Desa-desa itu dipersembahkan untuk pemeliharaan tempat suci bernama Kamūlān Bhūmisambhāra nama kuno Borobudur yang berarti “Tempat Awal Ajaran Kebijaksanaan Semesta”.
Candi Plaosan dan Sanjiwana: Jejak Cinta dan Keyakinan
Setelah menjadi permaisuri Rakai Pikatan, Pramodhawardhani tidak meninggalkan akar keagamaannya. Ia justru menjadi patron utama pembangunan Candi Plaosan, candi Buddha bergaya campuran yang berdiri tidak jauh dari Prambanan. Kompleks Plaosan memiliki dua bangunan utama yang dipercaya menggambarkan pasangan spiritual simbol kesatuan Pikatan dan Pramodhawardhani dalam dualitas kepercayaan.
Sementara itu, Prasasti Rukam (907 M) menyebutkan nama Nini Haji Rakryan Sanjiwana, yang secara luas ditafsirkan sebagai gelar lain dari Pramodhawardhani. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa beliau merestorasi desa Rukam dan menetapkan penduduknya untuk memelihara bangunan suci di Limwung, yang dipercaya sebagai Candi Sajiwan candi Buddha yang memuat relief kisah Pancatantra dan Mahakarmawibhanga.
Konflik Keluarga: Perebutan Tahta Mataram
Namun jalannya tidak selalu mulus. Sejarah mencatat munculnya sosok Balaputradewa, yang diduga saudara tiri atau paman Pramodhawardhani, menantang kekuasaan gabungan Pikatan Pramodhawardhani. Dalam Prasasti Ratu Baka, disebutkan adanya pertempuran besar antara Rakai Pikatan dan Balaputradewa, yang berakhir dengan pelarian Balaputradewa ke Sumatera kelak menjadi raja besar di Sriwijaya.
Pertempuran ini juga diyakini menjadi latar belakang ditinggalkannya Candi Ratu Boko, yang sempat dibangun sebagai pusat kekuasaan Balaputradewa.
Warisan Abadi Seorang Maharatu
Nama Pramodhawardhani muncul berulang kali dalam berbagai prasasti sebagai tokoh utama yang menetapkan pemeliharaan tempat suci, pembangunan vihara, dan pelestarian desa-desa keagamaan. Ia dikenang bukan hanya sebagai istri raja, melainkan sebagai pemimpin spiritual dan politik yang menyatukan perbedaan.
Gelar Sri Kahulunan dan Sanjiwana yang melekat padanya, tidak sekadar penghormatan, melainkan pengakuan terhadap perannya sebagai pemangku keluhuran.
Sumber-sumber Sejarah Kuno:
1. Prasasti Kayumwungan (824 M) – Menyebut Pramodhawardhani sebagai putri Samaratungga yang meresmikan Jinalaya.
2. Prasasti Tri Tepusan (842 M) – Mengabadikan pembebasan pajak desa untuk perawatan Kamulan Bhūmisambhāra.
3. Prasasti Rukam (907 M) – Menyebut Nini Haji Rakryan Sanjiwana, identik dengan Pramodhawardhani.
4. Prasasti Ratu Baka (±856 M) – Merekam konflik politik antara Pikatan dan Balaputradewa.
5. Prasasti Kelurak dan Prasasti Nalanda – Menyebut leluhur Pramodhawardhani sebagai pemelihara agama Buddha lintas negara.
Penutup: Ratu di Tengah Dua Dunia
Pramodhawardhani bukan sekadar tokoh pelengkap sejarah Mataram Kuno. Ia adalah arsitek perdamaian spiritual yang meletakkan fondasi toleransi, kesetaraan agama, dan kemegahan budaya di jantung Jawa. Jejaknya terpahat tidak hanya di batu, tapi juga dalam memori budaya Nusantara.
Di antara bayang-bayang relief Borobudur dan Prambanan, suara Sri Kahulunan masih bergema: bahwa peradaban besar dibangun oleh keberanian mencintai, bahkan di tengah perbedaan.