Candi Dermo: Tapak Jejak Terlupakan Abad Pertapaan Hindu-Buddha di Sidoarjo
0 menit baca
RagamJatim.id – Di balik hiruk-pikuk kawasan Sidoarjo yang kini identik dengan kawasan industri dan urbanisasi, tersembunyi sebuah situs sunyi yang nyaris lenyap dari ingatan sejarah Jawa Timur: Candi Dermo. Terletak di Desa Candinegoro, Kecamatan Wonoayu, Sidoarjo, candi ini menyimpan jejak spiritualitas masa lampau yang tak banyak diungkap buku sejarah konvensional. Namun jika ditelusuri lebih dalam, Candi Dermo justru menjadi kunci penting untuk memahami babak transisi antara Hindu dan Buddha menuju Islam di tanah Jawa.
Dibangun di Masa Keruntuhan, Bukan Kejayaan
Berbeda dengan candi-candi besar seperti Borobudur atau Prambanan yang dibangun pada masa puncak kejayaan kerajaan, Candi Dermo diduga kuat justru dibangun pada masa senjakala kekuasaan Hindu-Buddha di Jawa Timur, sekitar abad ke-13 hingga awal abad ke-14 M. Hal ini dikuatkan oleh ciri arsitektur bata merah yang mulai mendominasi pada masa akhir Kerajaan Singhasari menuju Majapahit awal.
Menurut interpretasi dari pakar arkeologi Drs. R.P. Soejono dalam telaah arkeologisnya tahun 1978, teknik penyusunan bata dan tidak ditemukannya relief rumit menandakan bahwa Candi Dermo bukanlah pusat kekuasaan atau pemujaan dewa utama, melainkan situs pertapaan atau padharmaan bagi para resi atau tokoh spiritual. Sebutan "Dermo" sendiri, menurut catatan dalam Serat Panji Puspaningrat, bermakna “derma” atau pemberian, yang kemungkinan besar mengacu pada praktik ritual pemberian (dana) kepada pertapa.
Bukti dari Prasasti dan Serat Kuno
Walau tidak ditemukan prasasti langsung di area situs, namun sejumlah lontar dan prasasti dari kawasan sekitar memberikan petunjuk penting. Prasasti Wurare (1289 M) yang dibuat untuk memuliakan arwah Mahisa Wunga Teleng, menyebutkan adanya kawasan “Pawana” sebagai lokasi para sramana (pertapa) menjalani kehidupan tapa-brata. Berdasarkan pemetaan arkeologis, kawasan tersebut diyakini mencakup wilayah Wonoayu dan sekitarnya saat ini.
Sementara dalam Lontar Pararaton, disebutkan tentang resi-resi yang bermukim di "wetan wanua" (timur desa) yang sering dikunjungi oleh Raden Wijaya sebelum mendirikan Majapahit. Ada spekulasi kuat dari filolog Dr. I Ketut Sura bahwa kawasan “timur desa” yang dimaksud mengarah pada Candinegoro, dengan keberadaan bangunan suci sederhana sebagai tempat pertemuan spiritual para tokoh utama kala itu.
Simbol Transisi Peradaban dan Kepercayaan
Candi Dermo bukan sekadar bangunan bisu dari bata merah. Dalam analisis arsitektur oleh Prof. Agus Aris Munandar dari UI, bentuk candi ini yang cenderung vertikal namun tanpa puncak stupa atau ratna, menunjukkan adanya sinkretisme antara ajaran Siwaistik dengan Tantrayana Buddha. Bahkan menurutnya, kemungkinan besar candi ini menjadi tempat penyimpanan abu kremasi atau simbolisasi pemujaan terhadap leluhur (candi pendharmaan), sejalan dengan tradisi Siwa-Siddhanta dan Bhakti Marga.
Fakta menarik lainnya, dalam catatan kolonial Belanda yang dimuat di Rapporten van den Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indië tahun 1915, disebutkan bahwa masyarakat sekitar Candi Dermo masih melakukan ritual sesaji dan pembakaran dupa di malam tertentu, bahkan hingga awal abad ke-20. Ini menandakan kesinambungan tradisi spiritual lokal yang melampaui agama formal.
Kondisi Kini: Terlupakan dalam Riuh Zaman
Sayangnya, Candi Dermo saat ini hanya tersisa bagian kaki candi yang terbuat dari bata merah dengan tinggi sekitar 2,5 meter. Bangunan utamanya telah runtuh dan tak banyak jejak arsitektur atas yang tersisa. Upaya pelestarian memang telah dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, namun penggalian dan ekskavasi mendalam belum optimal.
Masyarakat sekitar pun banyak yang tak lagi mengetahui makna spiritual candi ini. Sebagian hanya menjadikannya lokasi bermain atau tempat singgah sejenak. Padahal, jika dirunut secara historiografis, Candi Dermo adalah monumen kecil yang menyimpan ruh besar tentang perjalanan religiositas Jawa dari Hindu-Buddha menuju Islam.
Kesimpulan: Tapak Terlupakan Peradaban Jiwa
Candi Dermo bukanlah candi megah yang menjulang dengan keagungan mitos. Ia justru hadir sebagai saksi senyap dari masa pencarian spiritual, persinggungan kepercayaan, dan peralihan zaman. Dengan menggali lebih dalam sejarahnya melalui serat, lontar, dan pengamatan arkeologis, kita menemukan bahwa makna peradaban tak selalu terletak pada kemegahan fisik, tetapi juga pada keheningan tapak yang ditinggalkan oleh jiwa-jiwa bijak masa lampau.