Candi Jawi: Simbol Peleburan Dua Agama Besar dan Titik Lahirnya Identitas Nusantara
0 menit baca
RagamJatim.id – Berdiri anggun di lereng barat Gunung Welirang, Candi Jawi bukan sekadar peninggalan masa silam. Ia adalah batu bersaksi atas perjalanan agung sebuah peradaban yang memilih bersatu di tengah perbedaan. Di sinilah dua agama besar Siwaisme dan Buddhisme bertemu dalam harmoni, menciptakan fondasi ideologis bagi lahirnya semangat Nusantara yang inklusif.
Misteri Leluhur yang Tertanam dalam Batu
Candi Jawi terletak di Desa Candi Wates, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Didirikan sekitar abad ke-13 Masehi, candi ini secara historis dikaitkan dengan Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari. Menurut isi Prasasti Wurare (1289 M) dan Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca, Candi Jawi awalnya dikenal sebagai “Jajawa”, tempat perabuan raja terakhir Singhasari itu.
Menariknya, Candi Jawi tak hanya dibangun sebagai tempat suci atau penyimpanan abu jenazah, namun juga sebagai monumen pemersatu kepercayaan. Struktur dan ornamen-ornamennya mencerminkan usaha besar menyatukan unsur Siwa-Buddha, sebuah sintesis religius yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam skala negara.
Dwi Tunggal: Siwa-Buddha dalam Wujud Candi
Bangunan utama Candi Jawi terbuat dari kombinasi batu andesit (pada tubuh candi) dan batu hitam vulkanik (pada kaki candi), berdiri setinggi 24,5 meter. Perpaduan material ini bukan hanya arsitektural, melainkan juga simbolik. Arsitektur vertikalnya menyerupai struktur Siwaistik, sedangkan relief dan arca-arca di sekelilingnya banyak memuat unsur Buddhistik, terutama dari aliran Vajrayana.
Bukti paling nyata dari peleburan dua kepercayaan ini terlihat dalam keberadaan arca-arca Dhyani Buddha seperti Aksobhya, Amitabha, dan Vairocana, berdampingan dengan relief dewa-dewa Hindu seperti Durga Mahisasuramardini, Ganesha, dan Agastya.
Namun pusat spiritualnya mengarah pada Arca Aksobhya, yang menurut Prasasti Wurare, menjadi simbol utama pemuliaan Kertanegara sebagai Bodhisattwa yang telah mencapai kebuddhaan. Meski berfokus pada Buddhisme Vajrayana, dominasi arsitektur bergaya Hindu menegaskan bahwa candi ini adalah tempat suci yang menjembatani keyakinan, bukan mendominasi satu atas yang lain.
Kertanegara: Raja Revolusioner dan Visioner Nusantara
Raja Kertanegara tak hanya dikenang sebagai pemimpin terakhir Kerajaan Singhasari, tapi juga sebagai pelopor konsep Nusantara. Dalam Negarakertagama, dijelaskan bahwa Kertanegara bukan raja biasa ia adalah pemikir spiritual yang menolak dikotomi kepercayaan dan menjadikan tantrayana sebagai dasar penyatuan.
Ia memprakarsai ekspedisi ke Sumatera melalui Ekspedisi Pamalayu (1275 M), yang disebut-sebut sebagai langkah awal mengintegrasikan pulau-pulau di luar Jawa ke dalam satu gagasan politik: Nusantara. Candi Jawi, sebagai tempat perabuan dan tempat suci penghormatan, sekaligus menjadi monumen yang mewujudkan cita-cita tersebut.
Jejak Prasasti dan Kitab Kuno: Sumber Sejarah yang Bicara
1. Prasasti Wurare (1289 M)
Ditemukan di Nganjuk, menyebutkan pendirian arca Jina (Aksobhya) sebagai simbol pemuliaan sang raja yang telah tiada. Dikatakan bahwa sang raja telah menyatu dengan kebenaran sejati dalam wujud Buddha tertinggi.
2. Negarakertagama (1365 M)
Karya agung Mpu Prapanca ini mencatat bahwa Candi Jawi adalah tempat suci “berhaluan Siwa-Buddha” yang melambangkan ajaran tunggal. Disebutkan juga bahwa Kertanegara adalah raja yang telah mencapai keheningan sempurna dan layak disebut sebagai Bodhisattwa.
3. Pararaton
Meski lebih banyak berbentuk kronik dan mitos, kitab ini memperkuat narasi spiritualisasi penguasa. Disebutkan bahwa Kertanegara adalah tokoh sakti yang menguasai ilmu tingkat tinggi, serta menjadikan candi sebagai bagian dari transformasi spiritualnya.
4. Serat Dharma Patanjala (Bali)
Meski berasal dari tradisi Bali, teks ini merekam jejak penyebaran paham Siwa-Buddha ke wilayah timur Nusantara, yang dipengaruhi langsung oleh ajaran dari Jawa Timur pada masa Singhasari dan Majapahit. Hal ini memperkuat posisi Candi Jawi sebagai episentrum penyebaran ajaran toleransi lintas iman.
Warisan bagi Indonesia Modern
Candi Jawi adalah lambang toleransi yang berakar dari masa silam. Di tengah perbedaan tafsir spiritual, para leluhur Nusantara tidak memilih konflik, tetapi sintesis. Dalam tataran sejarah spiritual dan politik, Candi Jawi adalah contoh konkret bagaimana perbedaan dapat dijahit menjadi satu kesatuan utuh yang luhur.
Warisan nilai dari Candi Jawi sangat relevan bagi Indonesia kini: perbedaan tidak untuk dipertentangkan, tapi untuk dijadikan kekuatan kolektif. Bila Candi Jawi mampu menyatukan dua doktrin yang tampak kontras, maka Indonesia dengan beragam suku, agama, dan bahasa pun bisa bersatu dalam semangat yang sama: Bhineka Tunggal Ika.
Kesimpulan: Dari Batu ke Bangsa
Candi Jawi tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana bangsa ini dibangun dengan semangat toleransi, spiritualitas, dan penyatuan. Di balik relief dan arca-arcanya, tersimpan pesan abadi tentang kelahiran ideologi Nusantara. Sebuah pelajaran luhur bahwa persatuan bukanlah hasil paksaan, melainkan hasil dari pemahaman yang dalam terhadap kemanusiaan dan keberagaman.
Jawi adalah monumen peradaban, bukan hanya peninggalan.