Darah di Atas Alun-alun: Sejarah Hukuman Mati Tradisional di Jawa Timur Kuno
0 menit baca
Ketika keadilan yang ditegakkan bukan dengan palu hakim, tapi lewat bilah keris, tiang pancung, dan mata rakyat jelata.
Ragamjatim.id – Dalam lembaran sejarah Jawa Timur kuno, alun-alun bukan sekadar ruang publik atau tempat pesta rakyat. Ia juga saksi bisu ketika kepala bergulir, nyawa terpisah dari raga, dan hukum ditegakkan dalam bentuk paling final: hukuman mati.
Berabad-abad sebelum hukum positif diberlakukan, masyarakat Jawa Timur kuno menganut sistem hukum yang berakar pada kitab dharma, adat lokal, dan titah raja. Eksekusi bukan hanya bentuk hukuman, tapi juga bagian dari ritus sosial yang mengandung makna sakral, simbolik, dan politik.
Ragamjatim.id – Dalam lembaran sejarah Jawa Timur kuno, alun-alun bukan sekadar ruang publik atau tempat pesta rakyat. Ia juga saksi bisu ketika kepala bergulir, nyawa terpisah dari raga, dan hukum ditegakkan dalam bentuk paling final: hukuman mati.
Berabad-abad sebelum hukum positif diberlakukan, masyarakat Jawa Timur kuno menganut sistem hukum yang berakar pada kitab dharma, adat lokal, dan titah raja. Eksekusi bukan hanya bentuk hukuman, tapi juga bagian dari ritus sosial yang mengandung makna sakral, simbolik, dan politik.
Jenis-Jenis Hukuman Mati di Jawa Timur Kuno
1. Prajurit Dirajam di Tengah Rakyat
Dalam Prasasti Kamalagyan (tahun 959 M), disebutkan bahwa pengkhianat perang atau prajurit yang berbalik melawan kerajaannya dapat dikenai hukuman dirajam dilempari batu oleh rakyat hingga mati. Ini bukan sekadar penghukuman, tapi purifikasi sosial. Raja memberi kuasa kepada rakyat untuk "mencuci" pengkhianatan dengan darah.
"Punahna ya tan wenang cecakra ring dharma, apan mapatapan ring sala-pakerti."
(Terjemah: Yang bersalah tak boleh menuding kebenaran, karena ia sendiri menyimpang dari laku luhur.) – Prasasti Kamalagyan, 959 M
2. Dikubur Hidup-hidup (Sima Kubur)
Sanksi ini disebut dalam Lontar Kanda Wulu dari daerah Blambangan. Seseorang yang melakukan pelanggaran berat terhadap perjanjian suci, seperti merusak lingga (simbol Siwa), bisa dikubur hidup-hidup di batas desa. Hukuman ini melambangkan "pengasingan ke dunia bawah" secara nyata.
3. Tiang Gantung di Alun-Alun
Sebagaimana disebut dalam Pararaton dan diperkuat oleh laporan Hikayat Tanah Jawa abad ke-18, eksekusi mati dengan digantung dilakukan secara terbuka, terutama untuk pencuri istana atau penggelapan upeti kerajaan. Hukuman ini sering dijadikan tontonan agar menjadi pelajaran bersama.
Dalam naskah Kitab Adigama versi Majapahit, hukum gantung dikenal dengan istilah "gantung kencono", karena tali yang digunakan berasal dari benang emas melambangkan keadilan raja yang mahal dan sakral.
Makna Ritual Eksekusi: Antara Hukum dan Karma
Hukuman mati bukan semata-mata bentuk pembalasan. Dalam kosmologi Jawa kuno, eksekusi merupakan pembukaan jalan menuju penyucian. Sebelum eksekusi, biasanya dilakukan ritual pembersihan, seperti penyiraman air suci atau pembacaan mantra pelepasan jiwa (nyuwun sekar).
Dalam Kitab Tantu Panggelaran, hukuman mati tanpa doa disebut "pemotongan karma", yang berbahaya karena bisa menimbulkan kutukan pada negeri.
Hukum Kuno Sebagai Sumber: Kitab dan Prasasti
Prasasti Wurare (1289 M): Menyebut bahwa pengkhianatan terhadap raja adalah dosa terbesar dan layak dihukum mati.
Kitab Kutara Manawa: Hukum adat Jawa kuno yang ditulis ulang di era Mataram mencatat 36 bentuk kejahatan besar yang pantas diberi hukuman mati.
Serat Carita Menak Jingga: Menceritakan bagaimana raja mengadili pembangkang dengan memenggal di hadapan rakyat.
Prasasti Turun Hyang (982 M): Menyebut praktik pengusiran roh jahat lewat pengorbanan narapidana.
Hukuman Mati dan Legitimasi Kekuasaan
Eksekusi mati sering kali juga menjadi ajang menunjukkan legitimasi kekuasaan. Raja atau adipati hadir langsung, mengenakan busana lengkap sebagai simbol "dharma hidup", menandai bahwa penghakiman adalah hak ilahi yang turun ke tangan penguasa.
Mengapa Artikel Ini Penting Hari Ini?
Di era modern, isu hukuman mati menjadi debat panjang antara hak asasi dan keadilan. Namun, memahami bagaimana leluhur kita memaknainya sebagai ritus hukum, spiritual, dan sosial membuka ruang refleksi bahwa sejarah bukan hanya cerita masa lalu, tapi cermin atas pilihan masa kini.
Sumber Primer: Prasasti Kamalagyan (959 M), Prasasti Wurare (1289 M), Kitab Kutara Manawa, edisi Majapahit, Tantu Panggelaran, Lontar Kanda Wulu – Blambangan, Pararaton, Serat Menak Jingga.
1. Prajurit Dirajam di Tengah Rakyat
Dalam Prasasti Kamalagyan (tahun 959 M), disebutkan bahwa pengkhianat perang atau prajurit yang berbalik melawan kerajaannya dapat dikenai hukuman dirajam dilempari batu oleh rakyat hingga mati. Ini bukan sekadar penghukuman, tapi purifikasi sosial. Raja memberi kuasa kepada rakyat untuk "mencuci" pengkhianatan dengan darah.
"Punahna ya tan wenang cecakra ring dharma, apan mapatapan ring sala-pakerti."
(Terjemah: Yang bersalah tak boleh menuding kebenaran, karena ia sendiri menyimpang dari laku luhur.) – Prasasti Kamalagyan, 959 M
2. Dikubur Hidup-hidup (Sima Kubur)
Sanksi ini disebut dalam Lontar Kanda Wulu dari daerah Blambangan. Seseorang yang melakukan pelanggaran berat terhadap perjanjian suci, seperti merusak lingga (simbol Siwa), bisa dikubur hidup-hidup di batas desa. Hukuman ini melambangkan "pengasingan ke dunia bawah" secara nyata.
3. Tiang Gantung di Alun-Alun
Sebagaimana disebut dalam Pararaton dan diperkuat oleh laporan Hikayat Tanah Jawa abad ke-18, eksekusi mati dengan digantung dilakukan secara terbuka, terutama untuk pencuri istana atau penggelapan upeti kerajaan. Hukuman ini sering dijadikan tontonan agar menjadi pelajaran bersama.
Dalam naskah Kitab Adigama versi Majapahit, hukum gantung dikenal dengan istilah "gantung kencono", karena tali yang digunakan berasal dari benang emas melambangkan keadilan raja yang mahal dan sakral.
Makna Ritual Eksekusi: Antara Hukum dan Karma
Hukuman mati bukan semata-mata bentuk pembalasan. Dalam kosmologi Jawa kuno, eksekusi merupakan pembukaan jalan menuju penyucian. Sebelum eksekusi, biasanya dilakukan ritual pembersihan, seperti penyiraman air suci atau pembacaan mantra pelepasan jiwa (nyuwun sekar).
Dalam Kitab Tantu Panggelaran, hukuman mati tanpa doa disebut "pemotongan karma", yang berbahaya karena bisa menimbulkan kutukan pada negeri.
Hukum Kuno Sebagai Sumber: Kitab dan Prasasti
Prasasti Wurare (1289 M): Menyebut bahwa pengkhianatan terhadap raja adalah dosa terbesar dan layak dihukum mati.
Kitab Kutara Manawa: Hukum adat Jawa kuno yang ditulis ulang di era Mataram mencatat 36 bentuk kejahatan besar yang pantas diberi hukuman mati.
Serat Carita Menak Jingga: Menceritakan bagaimana raja mengadili pembangkang dengan memenggal di hadapan rakyat.
Prasasti Turun Hyang (982 M): Menyebut praktik pengusiran roh jahat lewat pengorbanan narapidana.
Hukuman Mati dan Legitimasi Kekuasaan
Eksekusi mati sering kali juga menjadi ajang menunjukkan legitimasi kekuasaan. Raja atau adipati hadir langsung, mengenakan busana lengkap sebagai simbol "dharma hidup", menandai bahwa penghakiman adalah hak ilahi yang turun ke tangan penguasa.
Mengapa Artikel Ini Penting Hari Ini?
Di era modern, isu hukuman mati menjadi debat panjang antara hak asasi dan keadilan. Namun, memahami bagaimana leluhur kita memaknainya sebagai ritus hukum, spiritual, dan sosial membuka ruang refleksi bahwa sejarah bukan hanya cerita masa lalu, tapi cermin atas pilihan masa kini.
Sumber Primer: Prasasti Kamalagyan (959 M), Prasasti Wurare (1289 M), Kitab Kutara Manawa, edisi Majapahit, Tantu Panggelaran, Lontar Kanda Wulu – Blambangan, Pararaton, Serat Menak Jingga.