Update

Membongkar Hoaks Sejarah Nusantara: Gajah Mada, Perang Bubat, hingga Sriwijaya yang “Digeser”

Dalam sejarah Nusantara, tidak semua yang dianggap kebenaran berasal dari kenyataan. Di balik kepingan prasasti, naskah-naskah kuno, dan lontar-lontar warisan leluhur, tersembunyi narasi-narasi tandingan yang justru melahirkan mitos keliru, hoaks sejarah, hingga glorifikasi berlebihan.

Ragamjatim.id
– Dalam sejarah Nusantara, tidak semua yang dianggap kebenaran berasal dari kenyataan. Di balik kepingan prasasti, naskah-naskah kuno, dan lontar-lontar warisan leluhur, tersembunyi narasi-narasi tandingan yang justru melahirkan mitos keliru, hoaks sejarah, hingga glorifikasi berlebihan. Sayangnya, sebagian besar narasi ini diterima sebagai “fakta”, padahal sumber-sumber kuno justru berkata lain.

Artikel ini menyajikan pembongkaran terhadap hoaks sejarah Nusantara paling populer, berdasarkan telaah teks klasik seperti Negarakertagama, Pararaton, Serat Kanda, Serat Sabdo Palon, hingga prasasti autentik dari era Sriwijaya hingga Majapahit.

1. Nama Asli Gajah Mada: Benarkah Ia Bernama Jaka Mada atau Jaya Mada?

Narasi Populer
Muncul klaim di berbagai media dan karya populer bahwa nama asli Gajah Mada adalah Jaka Mada atau Jaya Mada, dan “Gajah” hanyalah julukan karena kekuatan dan tubuhnya yang besar.

Bukti Historis
Dalam Negarakertagama (karya Mpu Prapanca, 1365 M), pada pupuh 13 dan 14, nama “Gajah Mada” disebut berkali-kali sebagai Mahapatih Amangkubumi Majapahit yang setia pada raja Hayam Wuruk.

Dalam Pararaton (abad ke-15), nama “Gajah Mada” disebut sebagai tokoh sentral dalam masa transisi kekuasaan Majapahit.

Prasasti Kudadu (1294 M), meskipun tidak menyebut Gajah Mada secara langsung, memberikan konteks tentang struktur birokrasi yang ia emban di kemudian hari.

Kesimpulan

Tidak ada satu pun teks kuno maupun prasasti otentik yang menyebut nama "Jaka Mada" atau "Jaya Mada". Ini adalah hoaks populer yang berasal dari penyederhanaan dalam karya fiksi atau pengajaran non-akademik.

2. Perang Bubat: Gajah Mada, Penjahat atau Dipolitisasi?

Narasi Populer
Perang Bubat disebut sebagai tragedi yang mempermalukan Sunda. Narasi umum menyebut Gajah Mada dengan licik membantai rombongan Kerajaan Sunda saat hendak menikahkan putrinya, Dyah Pitaloka, dengan Hayam Wuruk.

Bukti Historis
Negarakertagama (Pupuh 70–72) tidak menyebut Perang Bubat sama sekali, padahal mencatat detail kehidupan Hayam Wuruk secara teliti.

Kidung Sunda dan Pararaton menyebutkan perang tersebut, tapi keduanya ditulis lebih dari 100 tahun setelah kejadian.

Kidung Sunda memiliki gaya bahasa penuh metafora dan unsur dramatik khas kidung sastra, yang membuatnya lebih cocok dibaca sebagai karya sastra dibanding catatan sejarah faktual.

Kesimpulan

Perang Bubat memang pernah terjadi, tapi narasi Gajah Mada sebagai pelaku utama pembantaian lebih merupakan tafsir lokal yang diperkuat oleh konflik kultural antara identitas Sunda dan Jawa. Hoaks ini menguat seiring berkembangnya narasi politik identitas sejak masa kolonial hingga era modern.

3. Sriwijaya: Kerajaan Jawa yang Berpindah ke Sumatra?

Narasi Populer
Ada hoaks yang mengatakan Sriwijaya berasal dari Jawa (misalnya di Muaratakah atau Kediri), lalu berpindah ke Sumatra karena perang atau bencana.

Bukti Historis
Prasasti Kedukan Bukit (683 M) menyebut Dapunta Hyang melakukan siddhayatra (ekspedisi suci) dari Minanga Tamwan menuju Palembang.

Prasasti Talang Tuwo (684 M) berisi doa dan filosofi raja Sriwijaya di Palembang.

Prasasti Telaga Batu (abad ke-7) menyebut sistem pemerintahan, pejabat lokal, dan struktur kerajaan Sriwijaya secara rinci semuanya ditemukan di Sumatra Selatan.

Catatan I-Tsing (pendeta Tiongkok) menyebut Sriwijaya sebagai pusat studi Buddhis dan transit pelayaran internasional di Sumatra.

Kesimpulan

Sriwijaya adalah kerajaan maritim berpusat di Sumatra, bukan Jawa. Hoaks soal asal-usul Jawa muncul dari teori spekulatif abad ke-19 yang tidak didukung temuan arkeologi.

4. Majapahit Menguasai Asia Tenggara dan Madagaskar?

Narasi Populer
Majapahit digambarkan menguasai hingga Thailand, Filipina, dan Madagaskar berdasarkan Sumpah Palapa Gajah Mada.

Bukti Historis
Negarakertagama (Pupuh 13-16) memang menyebut ratusan daerah seperti Tumasik (Singapura), Langkasuka, hingga Maluku sebagai bhumi Majapahit.

Namun, sistem kekuasaan mandala pada masa itu bersifat jaringan kekuasaan simbolik: wilayah yang membayar upeti atau menjalin aliansi dagang, bukan ditaklukkan secara militer.

Tidak ada prasasti atau sumber lokal dari Filipina, Thailand, atau Madagaskar yang menyebut Majapahit sebagai penjajah.

Kesimpulan

Majapahit memang kuat, tapi tidak pernah menjadi imperium kolonial sebagaimana digambarkan. Hoaks ini berkembang dari semangat nasionalisme pasca-kemerdekaan yang berlebihan.

5. Demak adalah Kerajaan Islam Pertama di Nusantara?

Narasi Populer
Kesultanan Demak dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia.

Bukti Historis
Kesultanan Samudera Pasai didirikan oleh Sultan Malik al-Saleh pada abad ke-13, disebut dalam catatan Ibnu Batutah (1345 M).

Prasasti Nagan Raya (1380 M) di Aceh menunjukkan keberadaan Islam di Sumatra jauh sebelum Demak.

Catatan Tiongkok dan Gujarat menyebut aktivitas dakwah Islam di Pasai sejak abad ke-13.

Kesimpulan

Kesultanan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa, bukan Nusantara secara keseluruhan. Hoaks ini muncul dari dominasi narasi Jawa-sentris dalam buku sejarah nasional.

6. Sabdo Palon: Penasehat Raja atau Nabi Nusantara?

Narasi Populer
Sabdo Palon dianggap manusia abadi, penjaga spiritual Nusantara yang akan datang kembali di "jaman baru".

Bukti Historis
Figur Sabdo Palon muncul dalam Serat Sabdo Palon dan Serat Darmagandhul yang ditulis pada abad ke-18 hingga 19, masa transisi dari Mataram Islam ke kolonial.

Ia digambarkan sebagai perwujudan perlawanan spiritual kejawen terhadap Islamisasi dan pengaruh kolonial Belanda.

Tidak ditemukan nama Sabdo Palon dalam teks kuno era Majapahit seperti Negarakertagama atau prasasti kerajaan.

Kesimpulan

Sabdo Palon adalah tokoh simbolik atau mitos politis-religius, bukan tokoh sejarah nyata. Keberadaannya digunakan sebagai protes budaya terhadap dominasi politik luar.

Penutup: Menyaring Sejarah dari Kabut Mitos

Hoaks sejarah tidak selalu lahir dari niat jahat kadang ia tumbuh dari keinginan untuk membanggakan masa lalu. Namun jika tidak dikritisi, kita akan terjebak pada glorifikasi kosong dan kehilangan pelajaran paling berharga dari sejarah: kebijaksanaan, bukan kebanggaan semata.

Sebagaimana Gajah Mada tidak butuh nama baru untuk dikenang, sejarah Nusantara tidak butuh kisah palsu untuk dibanggakan. Yang kita butuhkan adalah membaca ulang sumber sejarah dengan akal jernih, hati terbuka, dan semangat objektif.

Ditulis oleh: Tim Redaksi RagamJatim.id
Referensi: Negarakertagama (Mpu Prapanca, 1365), Pararaton (Abad 15–16), Kidung Sunda, Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Telaga Batu, Catatan perjalanan Ibnu Batutah (Rihlah, 1345), Serat Sabdo Palon, Serat Darmagandhul
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar