Update

SAWERIGADING: La Galigo di Tanah Asing

Foto: La Galigo script  Colliq Pujié Arung Pancana Toa. 19 M.(Kiri). Batik tulis La Galigo karya Adiatmono Fendi. 2018.(Kanan)

Ragamjatim.id
- Pertama kali tiba di Belanda, rambut panjang ini membantu dalam meredam udara dingin di negeri itu. Saat suhu mulai turun, rambut dapat dililit pada telinga, berfungsi sebagai selimut hidup, meski hanya mampu menahan hingga menemukan mesin pemanas.

Tiap hari mengayuh sepeda, berangkat pagi pukul 08.00, tusukan dingin hingga membuat telinga sakit. Sepatu buatan Indonesia tidak dapat meredam musim dingin di sana, jari kaki bak di rendam pada bongkahan es.

Seminggu tiga kali menyempatkan diri ke Perpustakaan KITLV Leiden. Perpustakaan itu dikenal di kalangan akademisi di seluruh dunia, karena kekayaan data di dalamnya.

Pada tahun 2014, Koninklijk Institute voor de Taal-, Land- en Vokenkunde (Lembaga Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia) yang berpusat di Leiden (biasa disebut KITLV Leiden) ditutup untuk selamanya.

Sedih mendengarnya, perpustakaan itu usianya sudah 179 tahun. Agaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tak satupun risalah akademis yang bermutu mengenai Indonesia, lebih-lebih lagi disertasi doktor, yang tidak mencantumkan ucapan terima kasihnya kepada petugas perpustakaan KITLV Leiden dalam halaman penghargaan (acknowledgement).

KITLV Leiden berganti kepemilikan, dan telah diambil alih Unibersiteitsbibliotheek Leiden (UB Leiden), letaknya cuma 30 meter dari KITLV. Ingatan melambung terlempar pada abad-13, Abad itu pada masa kini menjadi pembuka mata dunia, Betapa tidak, Naskah itu adalah epos terpanjang di dunia, dan satu satunya di dunia. Bahkan epos sekelas Mahabarata dari Indiapun tak bisa menyamai.

Kini UNESCO telah menjadikan naskah itu, sebagai warisan terpanjang di dunia Membuka teks La Galigo, maka yang pertama kali ketakutan mulai hinggap, ketika tengkuk agak merinding. Karya tulis buatan manusia ini berusia tua, berwarnanya krem, dan terbuat dari lontar.

Retna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa, seorang intelektual dan bangsawan wanita Bugis yang hidup pada pertengahan abad ke-19 M telah menuliskan kembali naskah ini, jika tidak, maka La Galigo tidak dapat dikenal oleh dunia sampai akhirnya Unesco mengukuhkannya sebagai “Memory of the World” tanpa beliau.

Berkat salinan tangannyalah maka La Galigo bisa bertahta dan bersemayam dalam kesenyapan tidur panjangnya selama hampir 200 tahun di Leiden Belanda, tanpa tersentuh, karena sulitnya membaca huruf-huruf tua dan bahasa Bugis kuno yang terdapat di dalamnya.

Pada saat yang bersamaan, generasi muda etnik Bugis telah meninggalkan tradisi menulis dan membaca lontaraq warisan abadi La Galigo. Tampaknya sisi keberuntungan sedang hinggap, karena bisa melakukan sesuatu, meski cuma bisa melihat beberapa belas lembar, namun sekecil apa pun itu, terselip keharuan mendalam atas kisah kecerdasan masalalu etnik Sulawesi.

Etnik Sulawesi mempunyai daya imajinasi yang kuat. Fantasi mereka, menggabungkan unsur yang ada di alam, manusia, dan Tuhan. Sesekali mereka menyelipkan kisah cinta yang agung dengan Tuhan. Tak jarang etnik itu juga mempunyai kisah cinta yang mendalam.

Kisah cinta antar suku, jarak yang jauh untuk berjumpa hingga kesetiaan yang ditampilkan melalui kisah perjalanan menjemput wanita pujaan hati. Perihal kepahlawanan selalu terselip di antara kisah epos itu. Wajar, etnik Sulawesi adalah suku pemberani, disegani dan mengilhami jiwa kestria.

Tidak dapat dipungkiri, etnik itu berperan besar dalam penyatuan Nusantara. Saat ini, pesimistik muncul di benak, melihat kenyataan yang timbul dari hal yang diterangkan di atas. Suatu keadaan dimana gamang ingin mempersilahkan otak bekerja atau menunggu masa tidur panjangnya Sawerigading (La Galigo) yang telah terlelap dari mimpi panjangnya selama 200 tahun.

Kini, tersirat evidensi (direlasikan-dihubungkan-diterapkan) beberapa disiplin keilmuan bisa dikembangkan melalui epos La Galigo. Jika di Sulawesi bagian selatan, tepatnya Makassar, untuk melihat dan membaca manuskrip itu, hanya bangsawan, ningrat, dan keturunan Raja etnik Sulawesi yang diperbolehkan.

Akhirnya, untuk menuliskan sepenggal kisahnya yang akan dielaborasi (digubah dan diterapkan) pada beberapa halpun kurang ada keberanian. Meski merasakan diri universal, manusia yang merupakan bagian dari dunia, tidak merasa dari suku manapun atau datang dari manapun, namun perlu melewati beberapa koridor yang bernama syarat.

Syarat itu tentu tak bisa terpenuhi, mengingat darah yang mengalir di tubuh ini bukan berasal dari aristokrat ataupun bangsawan. Perihal yang perlu mendapatkan perhatian saat membaca teks La Galigo agar sampai kepada tahap memahami adalah disertai patokan pada konvensi (kesepakatan dalam adat dan tradisi) dan beberapa etika (kebiasaan yang dijalankan).

Hal yang sulit dilakukan, tetapi minimal lewat penguasaan lain, maka bisa dihasilkan beberapa yang bermanfaat, mengingat La Galigo hanya bisa dibaca oleh 100 orang, di antara jutaan manusia di bumi ini.

Naskah itu terdeteksi dibawa oleh pemerintah Belanda sebanyak 12 jilid. La Galigo memiliki kekuatan yang mengejutkan dunia, merupakan hasil penulisan berisi tangkapan makna perjalanan hidup Sureq Galigo yang imajiner (daya imajinasi yang berwujud). Masapun berganti.

Putaran nasib mendekonstruksi peluang diri pribadi. Keadaan yang tepat itu disempurnakan oleh hadirnya peluang. Sisi inilah, yang dikatakan beruntung. Untuk membaca manuskrip itu, pemerintah NL menyiapkan beberapa petugas.

Naskah dikeluarkan satu persatu dengan perlahan untuk dipersilakan membaca. Mereka menyiapkan bantal putih, lalu meletakkan perlahan. Untuk membuka halamannya, petugas itu yang mengerjakan, sehingga mempermudah kita agar tidak terjadi kesalahan (sobek).

Suhu pada kamar itu juga telah di atur, sehingga dapat memastikan bakteri tidak menyerang manuskrip yang disimpan. Sepasang mata menyorot di tiap gerakan apapun yang dilakukan. Kesunyian yang mencekam, aksara etnik Bugis itu membuat keringat dingin, Aksara itu mirip Huruf Jawa, Huruf Batak dan beberapa suku bangsa di Indonesia lainnya.

Berikut dicuplik tulisan Jennifer W. Nourse, Parreanom, dan Barru: Pada abad ke-15, dunia telah mengenal La Galigo. Bahkan 300 ribu larik epik itu konon sudah lahir ketika abad Masehi baru mencium bumi.

Sungguh tua, sungguh panjang usia kisah yang pernah menjadi bagian dalam kehidupan suku Bugis ini. Inilah epos yang konon terpanjang di seluruh dunia. Jumlah ini jauh lebih gemuk ketimbang epos agung Mahabharata, yang terdiri dari 150 ribu-200 ribu baris, atau Iliad dan Odyssey yang “hanya” terdiri dari 16 ribu baris.

Karena itulah, bulan Maret silam, puluhan peneliti dan pakar internasional bertemu di Barru, Sulawesi Selatan, untuk mendiskusikan karya sastra mahapanjang yang istimewa ini.

Di Barru, tempat waktu berjalan merayap, Sureq Galigo diperkenalkan kembali pada publik. Istilah pengenalan kembali memang ironis.

Sureq Galigo yang usianya sudah berabad abad itu di masa lalu adalah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan rakyat Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis. Namun, fakta di lapangan, karya sastra ini sudah mulai dilupakan. Maka, selama Festival La Galigo itu, Desa Pancana sejenak berubah wajah.

Desa yang terletak di pinggir pantai Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, yang biasa disiram aroma amis ikan laut, pada Maret silam dikunjungi ribuan orang dari berbagai kawasan yang memenuhi lorong-lorong kampung.

Jalan masuk yang membelah tambak di desa itu malah macet gara gara banyaknya mobil yang parkir. Hiburan macam ini memang jarang ditemui. Tapi tidak semuanya senang dengan hiruk-pikuk ini. Hajjah Siti Ara, 42 tahun, pedagang obat di Pasar Sentral Barru, terang-terangan mengaku kecewa.

Ia datang ke festival dengan harapan bisa menyimak Masureq, pembacaan La Galigo atau Sureq Galigo (penamaan ini untuk membedakan dengan nama tokoh I La Galigo) yang khidmat da menghanyutkan.

Harapannya meleset karena situasi festival mirip pasar malam yang sesak dengan pedagang. Siti, yang semasa sekolah menengah pernah main drama dengan tema La Galigo, juga menyesalkan banyaknya atraksi kesenian yang tak ada hubungan dengan tema festival.

Jadi, apa sesungguhnya yang membuat La Galigo begitu istimewa? Dan, bagaimana karya itu bisa sedemikian panjang? Ia membentangkan dongeng tentang tujuh generasi. Ini berbeda dengan cerita rakyat dari daerah lain di Indonesia, yang umumnya berbentuk banjaran (kisah satu tokoh dari lahir sampai meninggal).

Cerita kolosal ini juga terlihat dengan 1.000 tokoh penting yang menghuni episode-episodenya. Christian Pelras, ilmuwan asal Prancis, sempat membuat 672 kartu nama tokoh-tokoh Sureq Galigo. Tentu, bukan ini saja yang menjadikan Galigo unik.

Campbell Macknight, Guru Besar emeritus antropologi di Universitas Nasional Australia di Canberra, menyebut Galigo adalah pencapaian kultural yang signifikan. Faktanya, materi teks Galigo paling banyak dielaborasi dalam pelbagai versi dalam bahasa Bugis.

La Galigo menyebar dengan dua cara: tradisi lisan dan tulis. Tradisi pertama dikenal oleh hampir semua etnik di Sulawesi, bahkan sebagian Kalimantan dan Semenanjung Melayu. Adapun yang kedua praktis hanya dilakukan oleh masyarakat Bugis.

Sebagai satu karya, La Galigo punya konvensi bahasa (yaitu bahasa Galigo yang untuk mudahnya bisa disebut juga bahasa Bugis Kuno), sastra, metrum (guru lagu dan guru wilangan), dan alur.

Misalnya, satu bait pasti terdiri dari lima baris dan nama tokohnya pasti terdiri dari lima suku kata: Sawerigading, I La Galigo, I We Cudaiq, dan seterusnya.

Galigo diperkirakan lahir pada abad-abad awal Masehi. Sampai abad ke-15, penyebarannya masih lisan, dengan bahasa yang masuk rumpun Austronesia (yang digunakan hingga Kepulauan Fiji).

Bukti yang mendukung adalah kemiripan sistem hierarki sosial yang digunakan etnik-etnik Pasifik yang masuk rumpun ini. Tradisi tulis diduga baru dimulai pada abad ke-15.

Sejak naskah ini didokumentasi, Galigo sudah mengembara ke negara-negara jauh, terutama Belanda. Yang masuk sampai ke perpustakaan negara Amerika Serikat di Washington, DC, pada abad ke-19 adalah buah tangan Husin bin Ismail, seorang munsyi Bugis kelahiran Wajo yang tinggal di Singapura.

Struktur Galigo bisa dibagi dalam dua bagian besar, kisah awal yang bersifat kosmologiyang menceritakan asal-usul kehadiran manusia di bumi.

Bagian kedua yang menceritakan sistem status yang sangat penting sebagai pegangan dalam kehidupan sosial Bugis. Menurut Fachruddin Ambo Enre, guru besar sastra di Universitas Negeri Makassar, bagian yang menceritakan manusia pertama alias nenek moyang raja-raja Bugis, terutama orang Luwu, dianggap sakral.

Naskah ini tidak boleh dibaca sembarangan. Bahkan judul sureq ini sengaja menggunakan nama Galigo, bukannya Sawerigading. Padahal Sawerigading adalah peran utama.

Namun, alasan tak menggunakan nama Sawerigading sebagai judul karena nama itu tak boleh diucapkan sembarangan. Bagian penciptaan alam semesta malah didudukkan lebih wingit lagi sehingga betul-betul dirahasiakan untuk kalangan terbatas.

Tak semua bangsawan Bugis yang masih menyimpan naskah periode ini sudi membagi pengetahuannya pada orang lain. Colliq Pujié Arung Pancana Toa, perempuan bangsawan Bugis yang menghimpun kisah Galigo untuk peneliti Belanda Dr. B.F. Mathhes pada 1852, misalnya, memulai penulisan lontaraq dengan adegan musyawarah para dewa untuk menurunkan Batara Guru sebagai cikal bakal manusia di bumi.

Alhasil, siklus kisah Galigo sebelum manusia lahir–yang dianggap sebagai periode “keramat”–masih diketahui sekelumit belaka. Salah satunya adalah naskah Mula rilingé Sangiang Serrí (Mulai Diciptakannya Sangiang Serrí).

Naskah ini diperoleh Christian Pelras, peneliti dari Prancis, dari seorang bangsawan Bugis. Naskah ini bercerita tentang Wé Oddang Nriwú, anak bungsu pasangan Dewa Langit Datu Patotoe dan Datu Palinge.

Wé Oddang, adik Batara Guru, dikisahkan memiliki kecantikan yang sanggup membuat para lelaki yang melihatnya gila (kecantikan perempuan macam ini sepertinya mirip Remedios The Beauty, tokoh dalam novel One Hundred Years of Solitude karya Gabriel Garcia Marquez).

Agar tidak menimbulkan malapetaka di mana-mana, Wé Oddang akhirnya diubah bentuknya menjadi tanaman padi dengan nama baru Sangiang Serrí. Dengan begini, ia tetap dicintai banyak orang dan sekaligus tak mengundang marabahaya.

Cerita Sangiang Serrí inilah yang melahirkan tradisi upacara persembahan para petani sebelum memulai musim tanam. Bagian utama dari La Galigo tak lain adalah kehidupan Sawerigading. Cerita cucu Batara Guru ini sedemikian memikat, sehingga rakyat Sulawesi Selatan menganggap sosok ini nyata.

Artinya, Galigo diperlakukan sebagai sumber sejarah untuk periode zaman tembaga-besi akhir (prasejarah). Bisakah? Ian Caldwell, dosen sejarah di Universitas Hull, Inggris, yang melakukan penelitian arkeologis sealama tiga tahun di Luwu dan sekitarnya, menampiknya.

Alasannya, anakronisme (penempatan kejadian pada waktu yang salah) yang bertaburan di dalam naskah La Galigo. Misalnya, gambaran Kerajaan Luwu dan Cina raja adalah cerminan keadaan politik dan demografis pada abad ke-15 sampai abad ke-17.

Padahal, dari pemakaian bahasa Galigo yang arkaik (tidak lazim dipakai), terlihat bahwa Galigo lahir pada masa yang jauh lebih kuno. Sejarah La Galigo Epos La Galigo atau biasa juga dikenal dengan I La Galigo merupakan karya sastra (epos) yang terpanjang di dunia.

La Galigo adalah hasil karya sastra dari Kerajaan Luwu, Sulawesi Selatan, Indonesia. Isinya sebagian berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epos ini menceritakan tentang penciptaan alam semesta oleh raja dunia atas atau raja langit bernama La Patiganna.

Disebutkan pula bahwa epos ini bercerita tentang Sawerigading, seorang perantau juga pahlawan yang gagah berani. La Galigo sebenarnya tidak tepat disebut sebagai teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos mitos.

Namun, epos La Galigo tetap dapat memberikan gambaran kepada kita mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14. La Galigo telah dipentaskan di beberapa negara Eropa. Pada tahun 2004, La Galigo dipentaskan di Belanda, Perancis, dan Amerika.

Pementasan tersebut mendapatkan respon yang sangat positif dari berbagai kalangan masyarakat. Bahkan, koran The New York Times yang biasanya sangat kritis memberikan komentar yang positif.

Pementasan La Galigo tersebut terlaksana di bawah bimbingan Robert Wilson, yang sayangnya seorang seniman teater dari Amerika Serikat dan bukan dari negeri sendiri.

Sehingga pada akhirnya cerita diadaptasi dan merupakan percampuran dari berbagai kebudayaan dengan tetap menggunakan ciri kebudayaan Makassar. Informasi mengenai salinan naskah-naskah La Galigo sebagian besar terdapat di perpustakaan Leiden, Belanda.

Naskah lainnya juga terdapat di Jakarta, yakni di perpustakaan Nasional dan juga di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan di Gedung Mulo yang memiliki 15 buah naskah Bugis. Kandungan La Galigo Epos bermula dengan penciptaan dunia.

Ketika dunia masih kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), raja langit, La Patiganna, mengadakan musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib.

Musyawarah tersebut menghasilkan keputusan berupa pelantikan anak lelaki raja langit yang tertua, La Toge’ langi’ menjadi Raja Alekawa (bumi) dan memakai gelar Batara Guru. Sebelum turun ke bumi, ia harus melalui masa ujian selama 40 hari 40 malam.

Tidak lama sesudah ujian tersebut, Batara Guru kemudian turun ke bumi, di Ussu’, daerah Luwu’ yang saat ini menjadi Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone. Di kemudian hari, La Toge’ langi’ menikahi sepupunya We Nyili’timo’, anak dari Guru ri Selleng, raja alam gaib.

Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu’. La Tiuleng sendiri lalu mendapatkan dua orang anak kembar bernama Lawe atau Sawerigading dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng.

Kedua anak kembar tersebut tidak dibesarkan bersama-sama sehingga pada suatu saat Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng akibat ketidaktahuannya bahwa mereka masih bersaudara. Ketika ia mengetahui hal tersebut, ia lantas meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi.

Sawerigading lantas melanjutkan perjalanannya ke Kerajaan Tiongkok. Selama perjalanan ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuk pemerintah Jawa Wolio yakni Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia lantas menikahi putri Tiongkok bernama We Cudai.

Sawerigading sendiri digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa. Ia pernah mengunjungi berbagai macam tempat, seperti Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga (diduga Jawa Timur dan Jawa Tengah), Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (diduga Sunda Timur dan Sunda Barat) serta Melaka.

Ia pun dikisahkan pernah mengunjungi surga dan alam gaib. Sawerigading sendiri dikisahkan merupakan ayah dari La Galigo yang kemudian bergelar Datunna Kelling. La Galigo juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, perantau, dan pahlawan yang hebat.

Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari berbagai negara. Namun, seperti ayahnya pula, La Galigo dikisahkan tidak pernah menjadi raja. Anak lelaki La Galigo yang bernama La Tenritatta’ lah yang dikisahkan terakhir dinobatkan menjadi raja di Luwu’.

Isi epos ini merujuk pada masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan pemukiman yang berpusat di muara sungai, tempat kapal-kapal besar boleh berlabuh.

Pusat pemerintahan pun yang terdiri dari istana dan rumah rumah bangsawan terletak berdekatan dengan muara sungai. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang asing disambut baik di kerajaan Bugis.

Para pedagang tersebut baru boleh berniaga setelah membayar cukai kepada pemerintah. Perniagaan ketika itu menggunakan sistem barter. Ketika itu, laut menjadi media yang sangat penting untuk saling berhubungan antar kerajaan.

Golongan muda bangsawan di Bugis ketika itu pun dianjurkan untuk merantau sejauh mungkin sebelum mereka diberi tanggung jawab yang besar, suatu latar belakang dan usaha pelestarian. Ada dugaan pula bahwa epik ini mungkin lebih tua dan ditulis sebelum epik Mahabharata dari India.

Isinya sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau. La Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa.

Namun demikian, epik ini tetap memberikan gambaran kepada sejarawan mengenai kebudayaan Bugis. Versi bahasa Bugis asli Galigo sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang. Sejauh ini Galigo hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya.

Hanya sebagian saja dari Galigo yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan tidak ada versi lengkapnya dalam bahasa Inggris yang tersedia.

Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropa, terutama di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden di Belanda. (kini Perpustakaan Leiden University) Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah muka surat yang tersimpan di Eropa dan di yayasan ini adalah 6000, tidak termasuk simpanan pribadi pemilik lain.

Hikayat La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara luas setelah diadaptasi dalam pertunjukan teater I La Galigo olehRobert Wilson, sutradara asal Amerika Serikat, yang mulai dipertunjukkan secara internasional sejak tahun 2004. Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia.

Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru.

La Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam.

Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu', sekarang wilaya Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone. Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka.

Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.

Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri.

Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja. Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu'. La Galigo La Galigo, Epos ini merambah Gorontalo. Di antaranya adalah pengungkapan beberapa motif ornamen. Ornamen itu diyakini mengandung makna oleh etnik Gorontalo.

Bentuk motif ornamen bulan, bintang, dan matahari merupakan simbol keteraturan yang tergambarkan sebagai empat sudut ketan. Keteraturan terlihat identik untuk lebih maju dan berkembang seiring waktu. Sebagai penjaga kehidupan, ditampilkan melalui motif bulan, bintang, dan matahari yang bersinar terang untuk menerangi bumi.

Motif tersebut menjadi petunjuk supaya tidak mudah tersesat atau kesusahan di malam gelap. Bulan dan matahari dilukiskan sebagai mitologi oleh W. Schmidt yang menceritakan mitos di Indonesia terutama wilayah Sulawesi.

Hal tersebut diungkap oleh Koentjaraningrat yang menyebutkan bahwa persebaran dongeng mitologi bulan dan matahari di antara suku bangsa di Indonesia adalah suatu contoh bagaimana teori kulturkreise dan kulturschichten untuk pertama kalinya dipergunakan.

Bintang dikenal sebagai motif kosmos (benda-benda alam raya). Motif yang mengambil ide bentuk benda alam itu, dijumpai pada beberapa ornamen rumah tradisional.

Motifnya selalu terpadu antara bulan-matahari-bintang. Motif kosmos di antaranya seperti matahari, bulan, bintang, lidah api, gelombang air, dan awan. Motif bulan, bintang, dan matahari terdapat pada hampir semua suku di Indonesia. Motif lidah api, banyak ditemukan pada ragam hias Jawa, yakni terdapat pada langit-langit pendhapa.

Ornamen pada rumah adat Batak banyak memakai motif matahari (mataniari), bintang, dan bulan sebagai simbol penerangan dan harapan. Bentuk motif ornamen lima bintang, yang bermakna lima rukun Islam dihasilkan oleh etnik Arab.

Etnik Arab selain menampilkan bentuk motif alam dalam mengekspresikan tadabur alam juga menampilkan motif tumbuhan walaupun relatif sedikit.

Kaligrafi mirip Arab dengan sulur-sulur yang kesemuanya dipanjangkan, tidak saling mengunci (mutadhakillah), saling melewati tersebut menjadi sakral dan mempribadi dengan inti penegasan kekuatan Sang Akbar.

Pemahaman makna bintang bagi etnik di Gorontalo adalah seperti pendapat yang menjelaskan bahwa “poliyama mohilu limo deu wito yito rukunu isilamu”, artinya motif lima bintang yang bermakna lima rukun Islam. Lima bintang ini juga merupakan penggambaran limo lo pohala’a atau bersatunya lima wilayah berbeda di Gorontalo.

Motif matahari bagi etnik Jawa merupakan lahirnya dunia baru melalui kepekaan terhadap lingkungan. Hal tersebut dicapai dengan penyatuan dengan pencipta dan alam sekitar. H. E. E. Hayes menjelaskan gambar bulan sabit untuk kaum muslim merupakan pembakar semangat.

Pejuang Aceh menggunakan bulan sabit untuk berperang. Bulan sabit dan bintang sesungguhnya bukan bagian daripada Islam dan bukan lambang Islam. Keduanya berasal dari kepercayaan paganisme. Simbol ini juga digunakan sebagai lambang pasukan Islam yang dipimpin Shalahuddin Al Ayyubi dalam perang salib pada abad ke-12.

Simbol ini juga digunakan di masa Usmaniyah atau Ottoman di Turki pada abad ke-18. Makna bulan sabit bagi etnik di Gorontalo adalah suatu semangat untuk meraih kebahagiaan atau “hulalosabi deuwito yito mooragai ode u sanangi”.

Hutan Sulawesi merupakan surga berkembang-biaknya populasi babirusa (Babyrousa) dan burung maleo (Macrocephalon). Adanya pohon rao (Dracontomelon dao) yang terus menghijaukan hutan dengan spesies yang tak terdapat dibelahan bumi manapun seperti monyet hantu (Tarsius tarsier).

Hewan itu tidak banyak dipakai temanya dalam pembuatan ornamen rumah tradisional. Hanya terdapat satu buah ornamen rumah tradisional di Limboto yang mempunyai bentuk motif burung maleo.

Sebenarnya, kedua binatang tersebut dapat mewakili sebagai tema bentuk motif ornamen pada rumah tradisional. Burung yang telurnya digemari orang itu, mempunyai ekor yang kadang distilir sebagai motif pokok ornamen.

Makna burung motif maleo (Macrocephalon) yang bertengger, merupakan sesuatu yang menyenangkan, simbol pengharapan suatu kesejahteraan bagi penghuni rumahnya. Adanya pengaruh mitos etnik Bugis di Gorontalo, dapat diketahui melalui tulisan Jennifer W. Nourse, sekaligus mengungkap makna burung maleo bagi orang di Gorontalo yang telah menginspirasi pembuatan motif ornamen rumah.

Maleo menyimpan telur mereka selama musim kemarau pada akhir musim hujan menjelang musim panen padi. Telur itu bukan hanya perlambang penting kesuburan dan kesehatan, tetapi cara burung meletakkan telurnya juga tak kalah penting maknanya.

Burung maleo hidup di dua alam, laut dan darat. Burung ini mewakili penyatuan laut dan darat yang dibutuhkan untuk kesuburan padi.

Penulis: Fendi Adiatmono
Referensi : Adiatmono, Fendi. 2016. Sawerigading:La Galigo di Tanah Asing. Samin. Radjik. N, "Mythos Sawerigading dalam sedjarah pertumbuhan keradjaan-keradjaan di Gorontalo". Liputo M., Sedjarah Gorontalo (Gorontalo: Pertjetakan Rakjat, 195-?), III.
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar