Pertempuran 10 November 1945, Yang Gemetar Bukannya Inggris tapi Penggede dari Jakarta

Inilah cerita Roeslan Abdulgani tentang Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945.


Dari cerita Cak Roes - sapaan akrabnya, kita tahu betapa besar pengorbanan arek-arek Surabaya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Artikel ini digubah dari "Dr. H. Roeslan Abdulgani tentang Pertempuran Surabaya" tayang di Majalah Intisari edisi November 1985

Semua bermula dari pucuk Hotel Oranje (Hotel Yamato) yang berada di Jalan Tunjungan, Surabaya, pada Rabu pagi, 19 September 1945. Ketika itu tiba-tiba berkibar bendera tiga warna Belanda: merah-putih-biru. Yang mengibarkan adalah orang-orang Belanda, baik totok maupun Indo. Siapa yang tidak mangkel melihat kejadian itu?

Yang juga bikin jengkel, mereka, secara provokatif, juga berdiri atas atap hotel itu dengan sikap yang menantang. Semakin kesal hati dibuatnya, bukan?

Arek-arek Surabaya pun marah. Tak butuh lama, mereka langsung mengepung Hotel Yamato sehingga terjadilah perkelahian yang cukup seru. Ada yang banyak yang terluka tapi alhamdulillah-nya, bendera Belanda berhasil dirobek birunya, tinggal merah putih, bendera Indonesia.

“Sejak itulah rakyat kita mulai tergugah,” cerita Cak Roes tentang pengalamannya terkait Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, sebagaimana ditulis Majalah Intisari edisi November 1985.

Menurut pengakuan Cak Roes, sebelum revolusi itu, dia adalah pekerja di sebuah koperasi kerajinan tangan. Dari situ Cak Roes kemudian memutuskan ikut perang.

Tapi jejak aktivisme Roeslan Abdulgani sudah terjadi sejak lama, sejak zaman Jepang. Ketika itu Cak Roes sudah ikut mengorganisasi Angkatan Muda (AM). Itu adalah wadah pemuda-pemuda yang tidak bekerja sama dengan Jepang.

Meski begitu, secara rahasia, mereka tetap terhubung dengan para pemuda yang “ikut” Jepang, seperti anggota PETA dan gerakan pemuda lainnya yang dipimpin Jepang. Hubungan itu terus dibangun untuk tetap memelihara jiwa nasionalisme dan patriotisme.

"Pokoknya, AM itu semacam gerakan rahasialah!” jelas Cak Roes.

Saat proklamasi kemerdekaan dibacakan di Jakarta, 17 Agustus 1945, Roeslan Abdulgani dan teman-temannya sudah berada di Surabaya. Dimotori Angkatan Muda, rakyat Surabaya mulai mengibarkan bendera di mana-mana, melucuti Jepang, mengambil alih perusahaan-perusahaan yang tadinya dipegang Jepang, dan membuka kantor pemerintahan. Termasuk karesidenan dan gubernuran.

Dari AM, Cak Roes kemudian diangkat sebagai sekretaris Komite Nasional Indonesia (KNI), yang dibentuk atas instruksi dari Jakarta.

Pada 3 September 1945, dibentuklah pemerintahan Republik Indonesia di Surabaya yang terlepas dari pemerintahan Jepang. Secara bersamaan, dibentuk juga Badan Keamanan Rakyat (BKR) — yang kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) — komandannya Moestopo alias Cak Moes.

Dalam rangka melucuti senjata Jepang, BKR dan pemuda-pemuda Surabaya lainnya menyerbu gudang senjata terbesar milik Jepang yang ada di Gedung Don Bosco, Sawahan, Surabaya Utara. Hasilnya tidak terhitung banyaknya, sampai-sampai Bung Tomo sempat mengirim senjata sebanyak empat gerbong ke Jakarta.

Di tengah-tengah itu, orang-orang interniran Belanda dikeluarkan dari kamp tahanan, sebab tidak ada lagi alasan untuk menahan mereka. Tapi, bukannya balik ke negaranya, mereka justru ingin kembali merebut kembali kekuasaannya atas Indonesia.

“Karena itu lalu bentrok dengan kita. Puncaknya adalah ‘insiden bendera’ di Hotel Oranje itu," kata Cak Roes. Di sisi lain, bentrokan dengan Jepang tetap terus berlangsung.

Menurut kesaksian Roeslan, Jepang tidak mau menyerahkan senjatanya, mesti dikeroyok dulu. Karena bagaimanapun, Jepang memang diinstruksikan Sekutu untuk tidak menyerahkan kekuasaan terlebih dahulu kepada pemerintahan Republik yang baru. Sebab, menurut mereka, pemerintahan itu tidak sah.

Bentrokan terbesar dengan Jepang terjadi pada 1-3 Oktober 1945. Ketika itu BKR dan pemuda-pemuda lainnya menyerbu tentara Jepang dan berhasil merebut gedung markas Kempetai, polisi militer dan intel Jepang yang terkenal sadis pada waktu itu.

Dalam bentrokan itu, banyak korban yang jatuh. Tapi gedung Kempetai berhasil dibakar. Bekas gedung ini berdiri itu kini dibangun Tugu Pahlawan yang lokasinya persis di seberang kantor Gubernur Jawa Timur.

"Sesudah itu sebetulnya kita sudah menguasai kota, tapi kemudian datang Inggris," kata Cak Roes.

Inggris sebagai anggota Sekutu datang untuk mengangkut tawanan perang, begitu teorinya. Tapi pada praktiknya, mereka itu lalu menduduki kantor telepon, kantor pos, jawatan kereta api, radio dan sebagainya. Lewat tentara Inggris inilah Belanda ikut membonceng, meskipun jumlahnya tidak banyak.

Inggris ngadu ke Bung Karno

Mendaratnya tentara Inggris dari Brigade 49 dengan enam ribu prajurit dipimpin oleh Brigjen Mallaby, mengundang reaksi Gubernur Jawa Timur, Suryo. Dia lalu mengutus empat orang, salah satunya adalah Roes, untuk meminta agar Inggris menghentikan pendaratan pasukannya itu.

Pihak Inggris mengacuhkan permintaan ini, bahkan menyebarkan pamflet-pamflet yang berisikan ancaman: siapa saja yang tidak mau menyerahkan senjata akan menanggung risiko ditembak. Lebih keterlaluan lagi, mereka mulai merampasi senjata dan kendaraan yang ada di tangan rakyat.

Jelas ini sangat melukai hati pemerintah dan rakyat. "Itulah sebabnya pada tanggal 28 Oktober 1945 kita lawan Inggris itu. Persenjataan mereka yang hebat, kita lawan dengan senjata apa adanya!"

Menghadapi perlawanan rakyat itu akhirnya Inggris kelabakan. Mereka mengontak Soekarno di Jakarta untuk datang menentramkan emosi dan amarah rakyat. Menurut pihak Inggris, tidak ada seorang pemimpin di Surabaya yang mampu berbuat demikian.

Bung Karno bersedia datang dan keesokan harinya, bersama Bung Hatta, ia diterbangkan dengan pesawat terbang AU Inggris (RAF).

Kedatangan rombongan Bung Karno tidak diketahui oleh pemuda dan rakyat yang mengepung Lapangan Terbang Morokrembangan. Karena itu sempat ditembaki dengan gencar. Di tengah-tengah hujan peluru itu Bung Karno dengan tabah dan berani keluar dari pesawat dengan membawa bendera merah-putih.

Bung Karno lalu berunding dengan Mallaby. Sayang hasil perundingan ini tidak menyinggung soal pamflet. Untuk itu perundingan dilanjutkan keesokan harinya dengan ikut hadirnya Jenderal Hawthorn dari pihak Inggris, yang khusus datang dari Jakarta. Hawthorn ini atasan Mallaby.

Perundingan diadakan di kantor gubernur dan berlangsung dalam suasana tegang. Apalagi situasi di luar gedung menambah tegangnya perundingan. Suara dentuman meriam dari kapal perang Inggris di muka pelabuhan masih terus terdengar.

Ditambah lagi bisingnya suara tank-tank, yang berhasil dikuasai TKR, menderu-deru mengelilingi gedung. Lebih-lebih kalau tank-tank itu saban kali harus maju-mundur. Maklum, pengemudinya belum berpengalaman!

Lucunya, justru para pemimpin Indonesia yang paling terpengaruh dengan suara-suara tank itu. Karena tidak tahan, mereka lalu meminta supaya tank-tank itu dihentikan saja. Roes yang waktu itu berada dekat pintu, sambil tersenyum keluar meneruskan permintaan itu.

"Gimana, sih, yang gemetar bukannya orang Inggris itu, tapi justru penggede-penggede dari Jakarta itu. Berhenti saja dulu, nanti boleh diteruskan lagi," kata Roes.

Brigjen Mallaby tewas, siapa yang menembak?

Hasil yang penting dari perundingan ini adalah diakuinya TKR oleh Sekutu dan dibentuknya badan penghubung (Kontak Biro) antara tentara Sekutu dan para penguasa Surabaya.

Anggota-anggota Kontak Biro terdiri atas pihak Indonesia dan beberapa perwira Sekutu. Roes termasuk salah seorang dari sembilan orang anggota dari pihak Indonesia.

Selesai berunding, siang itu juga rombongan Bung Karno dan Hawthorn langsung kembali ke Jakarta. Kontak Biro pun segera mengadakan rapat untuk mencari cara bagaimana mengefektifkan perjanjian gencatan senjata yang telah diputuskan sebelumnya.

Dalam rapat ini Roes ditunjuk sebagai sekretaris, bersama dengan Kapten Shaw dari pihak Inggris. Berhubung counterpart Roes ini berpangkat kapten, Roes pun lantas diberi pangkat kapten.

Walaupun ada gencatan senjata, bentrokan antara rakyat dengan tentara Inggris masih terus berlangsung, a.l. di Gedung Lindeteves dan Gedung Internatio di dekat Jembatan Merah. Untuk menghentikan tembak-menembak di kedua gedung ini, Kontak Biro sepakat untuk mendatangi sendiri tempat-tempat tersebut. Waktu itu kira-kira pukul 17.00.

Dengan beriringan, delapan mobil menuju Lindeteves. Ternyata di sana keadaan sudah tenang. Iring-iringan kemudian melanjutkan perjalanan ke Gedung Internatio.

Di sinilah kemudian terjadi malapetaka yang menentukan jalannya sejarah Kota Surabaya: Mallaby yang ikut dalam rombongan Kontak Biro, tewas terbunuh! Sampai sekarang masih simpang-siur bagaimana kejadian sebenarnya yang menyebabkan Mallaby sampai tewas.

Waktu itu pasukan Inggris terkepung di dalam gedung. Rakyat yang berada di luar menuntut agar pasukan Inggris itu menyerah saja dan segera diangkut ke pelabuhan dengan meninggalkan senjatanya.

Tuntutan ini tidak dapat dipenuhi, mengingat hasil persetujuan antara Bung Karno dan Hawthorn. Baru keesokan harinya pasukan Inggris itu akan diangkut ke pelabuhan. Lalu rakyat meminta jaminan bahwa Inggris tidak akan menembak ke luar lagi pada malam itu.

Maka diutuslah tiga anggota Kontak Biro untuk menyampaikan permintaan tersebut. Ketiga orang yang masuk ke gedung itu adalah Muhammad, Kundan serta Kapten Shaw.

Rombongan Kontak Biro kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke Jembatan Merah. Di situ mereka berhenti menunggu kembalinya para utusan. Sepuluh menit kemudian tampak Kundan keluar dari gedung. Dia baru sampai di luar pintu, ketika tiba-tiba terdengar suara ledakan granat disusul tembakan-tembakan berasal dari dalam gedung.

Selain ditunjukan pada gerombolan massa yang berkerumun di lapangan depan gedung, tembakan itu juga ditujukan pada rombongan Kontak Biro. Anggota Kontak Biro Indonesia segera berpencar menyelamatkan diri masing-masing.

Roes sendiri meloncat ke dalam Kali Mas dan berlindung di tepinya. Akibat tembakan yang tak terduga-duga ini banyak orang yang tewas seketika. Tembakan-tembakan semakin gencar, demikian juga tembakan balasan dari rakyat. Di dalam keributan inilah Mallaby tewas.

Inggris mengeluarkan ultimatum

Reaksi atas terbunuhnya Mallaby ini ternyata hebat sekali. Sampai-sampai Jenderal Christison, Panglima Tentara Sekutu di Asia Tenggara, keesokan harinya, tanggal 31 Oktober 1945, mengeluarkan peringatan dan ancaman kepada bangsa Indonesia.

Indonesia menolak tuduhan itu dengan mengeluarkan pernyataan bahwa Mallaby tewas di tengah-tengah keributan yang disebabkan oleh tembakan-tembakan yang pertama kali dilancarkan oleh pasukan Inggris.

Dalam keributan seperti itu maka Kontak Biro dan rakyat yang berada di depan Gedung Internatio menanggung risiko yang sama. Lagi pula kemudian terbukti bahwa tujuan pasukan Sekutu (di sini Inggris) datang untuk melaksanakan rencana yang disebut "Operation Persil", yang maksud pokoknya adalah menduduki seluruh Jawa Timur.

"Inggris tidak pernah sebelumnya kehilangan seorang jenderal di seluruh pertempuran, baik melawan Jepang, di India, Birma dan Malaysia. Hanya di Indonesia," komentar Roes. Dengan terbunuhnya Mallaby, Inggris lalu menyiapkan serbuan baru.

Setelah itu Kontak Biro terus-menerus mengadakan rapat walaupun suasananya tidak menyenangkan. Sampai kemudian, pada tanggal 9 November 1945, Inggris mendaratkan tentara baru dari Divisi ke-5 sebanyak 24.000 orang. Mereka lalu mengeluarkan ultimatum.

"Saya disuruh menerima ultimatum itu oleh Jenderal Mansergh (yang menggantikan Mallaby), padahal waktu itu saya datang mau menyampaikan surat dari Gubernur Suryo bahwa beliau tidak mau menemui Mansergh," Rose melanjutkan ceritanya.

"Jadi kami berdua sama-sama kaget. Dia menerima surat itu, saya juga menerima ultimatum." Roes menerima surat ultimatum itu pukul 12.00. "Kita diberi tempo 6 jam. Pukul 18.00 kita sudah harus menyerahkan senjata, angkat tangan sambil membawa bendera putih!"

Jika tidak, akan digempur oleh AD, AL dan AU Inggris.

"Bayangkan saja, pada waktu itu kita ‘kan belum tahu apa itu AD, AL atau AU. Kita tidak mengerti AL itu terdiri atas apa dan AU itu bagaimana. Pokoknya ini menghina, kita tidak terima ultimatum itu!" kata Roes.

"Jadi sebenarnya, keberanian kita dulu itu luar biasa. Karena kita tidak tahu kekuatan lawan. Sedangkan lawan menaksir rendah kekuatan kita, sebab yang mereka lihat senjatanya, toh? Namun, semangat kita hebat."

Setelah gagal berunding dengan pihak Inggris, pemerintah pusat di Jakarta menyerahkan keputusan pada rakyat Surabaya. Malamnya Gubernur Suryo, lewat corong radio, mengumumkan bahwa Surabaya tetap menolak ultimatum tersebut.

Rakyat pun segera bersiap-siap. Mereka membuat rintangan dan barikade dengan menaruh meja, kursi, lemari serta apa saja di tengah jalan.

Pukul 06.00, 10 November 1945, Roes sudah bangun. Dari beranda depan rumahnya di Kampung Kranggan ia mulai mendengar suara menderu-derunya kapal-kapal terbang, dibarengi dengan suara tembakan dan dentuman meriam dari sebelah utara kota.

Dia bahkan sempat melihat beberapa bom dijatuhkan di Utara sana. Ultimatum Mansergh mulai dilaksanakan. Pertempuran 10 November pun dimulai.

"Pertempuran Surabaya itu merupakan pertempuran rakyat. Tentu saja TKR juga ikut, tapi semua rakyat terlibat dan senjatanya macam-macam. Model pertempurannya dari gedung ke gedung, dari jalan ke jalan. Kita mundur sedikit demi sedikit, selama tiga minggu."

Roes, sebagai anggota Kontak Biro sibuk ke sana-kemari. Baru setelah pertempuran berlangsung dua minggu dia pun terpaksa mengungsikan keluarganya: istri dan kedua anaknya ke Mojokerto. Karena gubernur waktu itu pindah dan menjalankan pemerintahan dari sana.

Perkiraan Inggris bahwa Surabaya akan dapat mereka taklukkan dalam beberapa hari, meleset sama sekali. Baru pada tanggal 28 November 1945 Inggris berhasil menduduki seluruh kota Surabaya.

Menurut catatan sejarah, lebih dari enam ribu rakyat Indonesia yang tewas. Untuk memperingati keberanian rakyat Surabaya, memang pantas kalau 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Begitulah cerita Roeslan Abdulgani a.k.a Cak Roes tentang Pertempuran Surabaya 10 November 1945.


@Ragam Jatim

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama