Update

Misteri Serat Lontar Calon Arang: Naskah Tua tentang Kutukan, Magi, dan Perebutan Kekuasaan di Era Raja Airlangga

Di balik kisah horor legendaris tentang Calon Arang yang kerap dibawakan dalam seni drama tari Bali atau kisah rakyat Jawa, tersimpan satu warisan kuno yang menjadi nadi utama dari cerita tersebut: Serat Lontar Calon Arang.

RagamJatim.id
– Di balik kisah horor legendaris tentang Calon Arang yang kerap dibawakan dalam seni drama tari Bali atau kisah rakyat Jawa, tersimpan satu warisan kuno yang menjadi nadi utama dari cerita tersebut: Serat Lontar Calon Arang. Naskah ini bukan sekadar cerita pengantar tidur atau dongeng mistis, tetapi sebuah dokumen budaya yang memuat intrik sejarah, siasat politik, dan duel ideologis antara magi hitam dan spiritualitas kerajaan. Lalu, siapa penulisnya? Ditulis di masa siapa? Dan apa sebenarnya isi lontar ini?

Siapa Penulis Serat Lontar Calon Arang?

Serat Calon Arang tergolong anonim, atau tidak mencantumkan nama pengarang secara eksplisit. Namun, sejumlah filolog meyakini bahwa penulis naskah ini berasal dari kalangan pujangga istana pada masa transisi antara Kerajaan Mataram Kuno dan masa awal Majapahit atau bahkan sesudahnya saat muncul gelombang penyalinan dan adaptasi karya-karya sastra Jawa Kuno ke dalam bentuk sastra Bali dan Jawa Tengahan.

Namun, satu versi penting Serat Calon Arang yang ditulis dalam aksara Bali pada daun lontar diyakini berasal dari masa kerajaan Bali Kuna abad ke-12 hingga ke-14, yang kemudian mengalami penyuntingan ulang dan penyebarluasan besar-besaran pada era Majapahit akhir hingga masa Gelgel (Bali).

Meski demikian, isi cerita justru merujuk pada latar sejarah masa pemerintahan Raja Airlangga di Jawa Timur pada abad ke-11, yang menunjukkan bahwa kisah ini berakar pada tradisi Jawa Kuno sebelum diadopsi dan dikembangkan dalam lingkungan sastra Bali.

Konteks Sejarah: Era Raja Airlangga dan Gejolak Sosial

Tokoh utama dalam Serat Calon Arang, yakni Mpu Bharada dan Calon Arang, merupakan dua tokoh fiksi-legendaris yang hidup di masa pemerintahan Sri Maharaja Airlangga (1019–1045 M), pendiri Kerajaan Kahuripan, setelah keruntuhan Medang akibat pemberontakan Wura-Wuri.

Kisah dalam serat ini mencerminkan ketegangan sosial-politik masa itu: ketakutan akan ilmu hitam, kecemasan akan wabah dan bencana, serta upaya pemimpin kerajaan untuk menertibkan masyarakat melalui pendekatan spiritual dan militeristik.

Isi Serat: Kutukan, Damar Shakti, dan Pertarungan Ilmu

Serat ini menceritakan tentang Calon Arang, seorang janda sakti dari Girah (sekarang sekitar Tulungagung) yang marah karena putrinya, Ratna Manggali, tak laku dinikahi lantaran masyarakat takut pada ibunya yang dikelilingi aura hitam.

Dalam amarahnya, Calon Arang melakukan ritual ilmu sihir di pemakaman dan memanggil kekuatan jahat untuk mengutuk kerajaan. Akibatnya, terjadi bencana: wabah, kematian massal, dan kekacauan di wilayah Kahuripan.

Raja Airlangga lalu memerintahkan Mpu Bharada, resi spiritual agung yang menguasai ajian putih, untuk mengatasi masalah ini. Ia mengutus muridnya, Mpu Bahula, untuk menikahi Ratna Manggali sebagai strategi penyusupan. Melalui siasat ini, Mpu Bharada akhirnya berhasil menggagalkan ilmu hitam Calon Arang, menghancurkan kitab sihirnya, dan mengembalikan ketertiban kerajaan.

Makna Filosofis dan Simbolik dalam Serat

Meski terlihat seperti cerita mistik biasa, Serat Calon Arang menyimpan kritik sosial dan politik tajam:

Calon Arang bukan sekadar penyihir, melainkan simbol perempuan yang tertindas oleh struktur sosial patriarkis. Ia melawan karena dunia menolaknya sebagai janda.

Mpu Bharada mewakili negara dan agama yang ingin menertibkan kekacauan, namun lewat siasat politik dan manipulasi.

Ratna Manggali adalah simbol transisi dan kompromi antara dua dunia: gelap dan terang.

Kisah ini juga mencerminkan konflik antara ilmu hitam dan ilmu putih, serta antara kekuasaan spiritual rakyat versus kekuasaan resmi negara.

Serat Calon Arang di Mata Sastra dan Sejarah

Serat ini menjadi sumber inspirasi berbagai versi lakon Calon Arang di Bali dan Jawa hingga kini, dari teater, pertunjukan wayang, hingga film dokumenter. Beberapa versi sastra yang lebih modern bahkan mengembangkan sudut pandang baru, seperti membela Calon Arang sebagai korban ketidakadilan sosial, bukan sekadar penyihir jahat.

Peneliti seperti C.C. Berg dan I Gusti Bagus Sugriwa pernah mengulas naskah ini sebagai karya yang penting dalam literatur Bali Kuna. Sedangkan dalam dunia akademik modern, Serat Calon Arang sering dibedah dalam studi feminisme, antropologi budaya, hingga spiritualitas Nusantara.

Lontar-Lontar yang Memuat Kisah Calon Arang

Beberapa varian lontar yang memuat kisah Calon Arang antara lain:

Lontar Calon Arang Girah – Versi paling populer di Bali.

Lontar Calonarang di Pura Samuan Tiga, Gianyar – Berisi versi yang lebih sakral dengan penekanan ritual magi.

Naskah Calonarang versi Jawa Tengahan – Tertulis dalam aksara Jawa Kuno dan campuran Sansekerta, ditemukan dalam beberapa manuskrip di Surakarta dan Yogyakarta.

Penutup: Warisan yang Masih Hidup

Serat Lontar Calon Arang bukan sekadar cerita legenda. Ia adalah refleksi tentang bagaimana masyarakat Jawa dan Bali kuno memahami kekuasaan, magi, relasi gender, dan spiritualitas. Kisah ini menjadi cermin sejarah tentang bagaimana sebuah negara seperti Kahuripan berusaha menaklukkan yang tak bisa dijelaskan dengan hukum, melalui pendekatan sakral dan manipulatif.

Hingga hari ini, bayang-bayang Calon Arang masih menghantui banyak pertunjukan tradisional. Tapi di balik kutukannya, tersembunyi satu jeritan panjang dari masa lalu: bahwa perempuan, kuasa, dan kemarahan bisa jadi narasi yang lebih kompleks daripada sekadar hitam dan putih.
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar