Filsafat tak se sederhana menyeduh secangkir kopi
0 menit baca
Walaupun kelezatan filsafat lebih mendalam daripada kopi. Mengapa tidak? Kopi dapat menghangatkan interaksi. Menghidupkan diskusi. Memudahkan kompromi. Meluluhkan emosi. Membangun harmoni hingga menciptakan kerinduan untuk ngopi lagi.
Bagi pencinta kopi, filsafat bukanlah sekadar proses menyeduh kopi. Namun, filsafat menentukan manfaat dari penyajian kopi. Filsafat terwujud dalam aktivitas berpikir. Menentukan jenis kopi yang tepat untuk dinikmati, seberapa banyak sendok mempengaruhi konsentrasi, pilihan gula, ukuran cangkir, cara mengaduk, teknik menyajikan, dan berapa menit rasa ideal harus mulai diminum.
Ilustrasi kopi di atas menegaskan bahwa setiap hasil tidak terlepas dari pemikiran. Setiap kebijakan memerlukan dasar alasan. Mengambil keputusan butuh perencanaan. Melaksanakan aksi memerlukan ketepatan. Masing-masing perencanaan tidak bisa lepas dari penalaran. Bahkan terhadap realitas, penting untuk melakukan re-evaluasi. Inilah gambaran sederhana kinerja filsafat.
Banyak orang yang salah paham tentang filsafat. Tidak mengherankan jika istilah tersebut jarang menjadi topik diskusi. Seolah filsafat adalah domain yang tersegmentasi. Sebuah monopoli dari kelompok tertentu. Dibahas terbatas di lingkungan akademis dan kalangan cendekiawan karena dianggap tidak pernah membumi. Bahkan siapa pun yang mendekati filsafat selalu dikaitkan dengan ketidakwarasan.
Konon, filsafat adalah 'dunia makrifat'. Tidak memiliki urgensi fungsional untuk dimasuki. Tidak menarik sebagai komoditas industri. Hanya ada dalam angan-angan dan melayang di angkasa. Di angkasa berarti berada di ketinggian yang tak terjangkau oleh akal. Hanya sebatas imajinasi. Mungkin lebih cenderung halusinasi. Rumit. Sulit dipahami. Minim kegunaan dan jauh dari manfaat.
Tentu saja, pandangan ini tidak hanya keliru, tetapi juga menyesatkan. Filsafat memang tidak pernah membumi karena keberadaannya bukanlah objek inderawi. Filsafat adalah alat sekaligus rumus berpikir. Tak terlihat dengan mata telanjang.
Di dalamnya terkandung pedoman berpikir logis. Terdapat dalam pikiran manusia. Diperlukan dalam upaya melahirkan proposisi sebagai kamera yang memotret kejadian, menjadi dasar proyeksi, memperkuat akar kebijakan, merawat kearifan, mengembangkan akal budi, mengeksplorasi dasar etika, dan membaca secara kritis.
Filsafat mempertanyakan realitas manusia secara mendalam.
Filsafat adalah ilmu yang mendekati berbagai persoalan secara prinsipal dan fundamental. Oleh karena itu, filsafat sering kali memberi kesan abstrak dan sangat teoritis. Kesan semacam ini tidak bisa dihindari. Perlu dicatat bahwa filsafat bukanlah ilmu untuk dirinya sendiri. Manusia berfilsafat karena mereka memerlukannya.
Mereka mengharapkan sesuatu darinya. Filsafat menjadi sarana bagi manusia, termasuk juga bagi pembaca artikel ini, untuk mencapai kejelasan terhadap masalah dan tantangan dalam segala dimensi kehidupan.
Melalui alat yang disebut filsafat, manusia dapat mengambil posisi dalam perdebatan antara kepastian hukum dan keadilan. Mampu menilai apakah hukuman mati tepat di negara Pancasila. Dapat memutuskan sikap, apakah Euthanasia itu konstitusional atau sebaliknya terhadap konsensus nasional. Melakukan eksplorasi, benarkah Marx anti Tuhan? Apakah tepat disebut Pancasila sakti? Benarkah Pancasila berasal dari tanah air kita?
Dengan alat filsafat, lahir berbagai refleksi berupa pertanyaan:
Mungkinkah hukum lingkungan masa depan memposisikan pohon dan sungai sebagai subyek hukum? Sudah tepatkah para guru dan dosen melatih murid dan mahasiswa untuk menjawab pertanyaan dengan benar, ataukah sebaliknya, tugas di kelas justru mengajari mereka untuk bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan kritis, prinsipil, dan mendasar? Teropong filsafat juga bisa digunakan untuk mengevaluasi, sudah tepatkah hakim sebagai pelayan keadilan melakukan mogok kerja? Padahal mogok kerja hakim adalah fakta yang menunda keadilan.
Sementara keadilan yang tertunda adalah ketidakadilan itu sendiri.
Filsafat juga membidani lahirnya opini untuk mencari inti dan akar konsep profesionalisme hingga membedakan hakikat kebebasan antara freedom dan liberty.
Melalui filsafat, orang akan mencari dasar yang masuk akal sebelum vokal meluapkan daya kritisnya. Dengan filsafat juga, tidak akan terjadi pertikaian dalam grup whatsapp menjelang pilkada atas dikotomi paslonku dan paslonmu. Caci maki bisa dihindari. Demokrasi akan berjalan ceria. Setiap tim sukses tidak bersaing membuka aib paslon. Semua fokus pada program serta rencana pengelolaan yang visioner.
Dialog menjadi kebudayaan. Dialektika muncul dengan penguatan argumen, bukan emosi. Semua orang dengan kapasitasnya akan percaya diri mengekspresikan pendapat. Bebas berkomentar dan menyanggah lawan bicara dengan senyuman dan canda. Tanpa emosi, bersih dari rasa benci yang kekanakan dan terkesan pemula, yang pada akhirnya menjadi komoditas jenaka yang mengundang tawa.
Sungguh filsafat memberikan kontribusi terhadap kedewasaan berdemokrasi. Filsafat bukan masalah benar/salah, melainkan cenderung memberikan kisi-kisi konstruksi berpikir dengan kebebasan menggunakan variabel yang dikemas dalam berbagai perspektif. Kedewasaan berpikir ditentukan sejauh mana orang berpikir filsafat untuk mengupas sebuah problema dan produknya.
Melalui kepiawaian berpikir filsafat, orang akan terhindar dari ideologi yang buta. Orang Jember menyebutnya 'kardi' (dalam bahasa Madura, karepa dibik berarti membuta pada penalaran). Menginternalisasi filsafat akan menyelamatkan dari egosentris yang mencari pembenaran diri. Berkat filsafat, orang akan mengkritisi, benarkah Fox Populi, Fox Dei (suara banyak orang identik dengan suara Tuhan). Bisa menguji apakah sudah tepat kredo 'tidak ada lawan dan kawan dalam politik, melainkan hanya kepentingan abadi'.
Berpikir filsafat adalah aktivitas nalar yang berbasis logika.
Mengangkat ontologis multitematis. Membidani epistemologi untuk mengemukakan diskursus dalam jalinan dialektika sistemik. Detail dan komprehensif. Melahirkan berbagai teks baru sebagai hasil renungan. Diakomodasikan untuk memperkaya pengambilan keputusan. Tentu saja, semua itu digagas dalam upaya memanusiakan manusia dari berbagai aspeknya. Melakukan pembongkaran terhadap tradisi yang kontradiktif dengan tuntutan zaman.
Berpikir filsafat tak lebih merawat atmosfir kearifan agar setiap benturan pemikiran anak bangsa berada dalam kehangatan yang bermartabat. Nalar yang logis, lepas dan terjaga konsistensinya agar tidak terhisap pada ekstra logika. Lepas dari pengaruh berbagai faktor dan kepentingan yang acapkali menjebak.
Filsafat itu alat.
Wahana konstruksi berpikir. Sebagai disiplin sistemik, setiap mengkaji persoalan. Filsafat selalu menanamkan sistematika ketat tentang : bicara apa (ontologis), ada problem apa, bagaimana cara menjawab dan apa jawabnya (axiologis), serta apa manfaatnya. Dengan kerangka berpikir demikian orang akan memposisikan diri pada kendali, fokus, cermat dan akurat berpikir.
Atas dasar pandangan filsafat, orang akan bicara nilai yang berorientasi manfaat. Nalar ketemu nalar yang memandang bahwa alam sekitar dan seisinya tidak pernah absolut. Selalu membuka ruang untuk dikritisi. Keabadian adalah perubahan itu sendiri. Hanya dengan filsafat, orang akan mau dan mampu menyesuaikan dengan keabadian itu sendiri.
Berfilsafat dari setiap konteks persoalan lebih fungsional daripada mendiskusikan teori-teori filsafat yang pada gilirannya membuat orang menjadi etalase referensi tanpa bisa menggunakan untuk meringankan hidup dan kehidupannya. Ayo berselancar dengan filsafat guna bersahabat dengan gelombang peradaban yang terus meninggi. Berfilsafat dari konteks lebih bermakna dari sekedar bincang filsafat.(*)