Update

Candi Sukuh: Puncak Mistis Peradaban Jawa di Ambang Senjakala Majapahit

Di lereng timur Gunung Lawu yang berkabut dan sunyi, berdiri sebuah bangunan suci nan janggal bentuknya, asing bagi mata awam, namun sakral di mata mereka yang menyelami makna Jawa sejati. Candi Sukuh, begitulah ia dikenal kini. Namun di masa lampau, ia bukan sekadar candi melainkan panggung spiritual terakhir dari sebuah peradaban yang tengah memasuki senjakala: Majapahit.

RagamJatim.id
- Di lereng timur Gunung Lawu yang berkabut dan sunyi, berdiri sebuah bangunan suci nan janggal bentuknya, asing bagi mata awam, namun sakral di mata mereka yang menyelami makna Jawa sejati. Candi Sukuh, begitulah ia dikenal kini. Namun di masa lampau, ia bukan sekadar candi melainkan panggung spiritual terakhir dari sebuah peradaban yang tengah memasuki senjakala: Majapahit.

Dibangun di abad ke-15 Masehi, Candi Sukuh adalah peninggalan langka yang menyingkap sisi esoterik dari kejawen, yang kerap disembunyikan di balik kabut sejarah dan simbol-simbol mistik.

Asal-Usul: Candi di Ujung Zaman dan Lintasan Moksha

Berdasarkan Prasasti Sukuh bertahun 1437 M, tertulis dalam aksara dan bahasa Jawa Kuno, diketahui bahwa Candi Sukuh dibangun pada masa pemerintahan raja Majapahit terakhir, di era ruwet yang dikenal sebagai Kala Padu masa kemerosotan spiritual dan runtuhnya moralitas bangsawan.

Dalam prasasti tersebut disebutkan nama Empu Supo (atau Empu Supah), seorang resiguru sakti yang diyakini menjadi arsitek spiritual candi ini. Kitab Smaradhana karya Mpu Dharmaja dan lontar Kakawin Bhāratayuddha juga menyebut keberadaan pertapaan sakral di lereng Lawu, tempat para resi bermeditasi untuk mencapai moksha lepas dari ikatan dunia fana.

Candi Sukuh dibangun bukan di pusat kerajaan, melainkan di batas antara dunia manusia dan alam para dewa: perbatasan Jawa dan akhir zaman, di mana semua bentuk ketamakan, ambisi, dan kekuasaan harus ditanggalkan.

Arsitektur yang "Tak Lazim" namun Sarat Simbolisme Jawa Asli

Tak seperti candi-candi Hindu-Buddha klasik semacam Prambanan atau Borobudur yang menjulang dan penuh relief naratif, Candi Sukuh hadir dengan bentuk trapesium bertingkat, mirip piramida Maya di Amerika Tengah namun bukan kebetulan. Ini adalah simbolisasi Gunung Mahameru, pusat alam semesta menurut kosmologi Hindu dan kejawen.

Kompleks candi dipenuhi simbol lingga dan yoni, arca kelamin laki-laki dan perempuan, serta figur Dewa Surya, Ganesha telanjang, dan relief erotik yang bukan sekadar sensualitas, tetapi mewakili kekuatan cipta-karsa: sumber kelahiran, kesucian, dan penyatuan semesta.

Salah satu relief paling ikonik menggambarkan ritual ruwatan, yakni pembebasan seseorang dari kutukan atau karma buruk, yang digambarkan dengan tokoh manusia berwajah binatang. Ini sejajar dengan konsep "sadripu" dalam ajaran Jawa, yaitu enam musuh dalam diri (kama, loba, krodha, mada, moha, matsarya) yang harus ditaklukkan untuk mencapai kesempurnaan batin.

Falsafah Jawa Kuno: Seksualitas sebagai Jalan Suci

Dalam kepercayaan Tantrayana dan ajaran Shiva-Bhairava yang berkembang di Jawa Timur abad ke-13 hingga ke-15, seksualitas bukanlah dosa, melainkan puncak kekuatan spiritual bila digunakan dengan pengendalian diri dan pemurnian jiwa.

Candi Sukuh mengabadikan ajaran ini dalam bentuk-bentuk eksplisit karena ia bukan ditujukan untuk umum, melainkan kaum spiritualis dan pertapa tingkat tinggi, seperti halnya kompleks pertapaan di India kuno atau Tibet.

Simbol lingga-yoni yang besar di gerbang masuk menggambarkan bahwa hanya mereka yang telah mampu melewati dualisme dunia antara pria dan wanita, baik dan buruk, gelap dan terang yang layak melangkah ke tahapan suci berikutnya. Dalam bahasa Jawa kuna, ini disebut manembah ing Hyang Wenang kembali menyatu dengan Sang Sumber.

Jejak Dalam Naskah dan Tradisi Lisan

Kitab Tantu Panggelaran dan Lontar Tutur Bhuana menyiratkan bahwa kawasan Gunung Lawu adalah tempat turunnya para dewa leluhur dan pelindung tanah Jawa. Konon, Sabdo Palon dan Naya Genggong melakukan moksha di kawasan ini setelah runtuhnya Majapahit, bersumpah akan kembali di kala kebatinan Jawa lenyap ditelan zaman.

Candi Sukuh dipercaya menjadi bagian dari jaringan spiritual Lawu, bersama Candi Cetho, Pertapaan Drajat, dan situs-situs kecil yang kini tersembunyi di balik semak dan kabut. Semua mengarah pada satu tujuan: persiapan batin menuju moksha, menyatu dengan jagad agung.

Mengapa Candi Ini Disembunyikan Sejarah?

Candi Sukuh terlalu frontal bagi kacamata kolonial Eropa, terlalu mistis bagi Islam ortodoks yang berkembang kemudian, dan terlalu “aneh” untuk dimasukkan dalam narasi nasional yang rasionalistik. Maka, selama ratusan tahun, ia diabaikan, ditutupi, bahkan dicap “mesum”.

Padahal, dalam pandangan Jawa kuno, ketelanjangan adalah kejujuran, dan keindahan tubuh adalah manifestasi kekuatan kosmik, bukan sekadar objek birahi. Sukuh adalah cermin dari peradaban Jawa asli yang memuliakan alam, tubuh, dan roh sebagai satu kesatuan.

Penutup: Candi Sukuh dan Akhir dari Sebuah Peradaban

Candi Sukuh bukan dibangun di awal zaman, melainkan di ujungnya, saat Majapahit mulai rapuh dan dunia Jawa bersiap menghadapi gelombang besar perubahan. Di tengah heningnya lereng Lawu, candi ini seperti pesan terakhir para empu: bahwa sebelum manusia menaklukkan dunia, ia harus lebih dahulu menaklukkan dirinya sendiri.

Jika Gedong Songo adalah sembilan gerbang menuju pencerahan, maka Candi Sukuh adalah gerbang terakhir sebelum lenyapnya cahaya itu dari tanah Jawa. Di sanalah, sejarah, tubuh, roh, dan semesta menyatu dalam kesunyian agung.
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar