Update

Dewi Durga Mahisasuramardini: Sang Pembantai Iblis dari Himalaya hingga Jantung Candi Nusantara

Dalam pelataran sunyi beberapa candi Hindu di Jawa dan Bali, sering kita temui relief atau arca seorang dewi bersenjata lengkap, mengendarai seekor singa atau kerbau, sedang menaklukkan makhluk mengerikan bersosok raksasa. Ia adalah Dewi Durga Mahisasuramardini, personifikasi kekuatan feminim tertinggi yang dikenal sebagai bidadari penjaga kosmos, namun juga penghancur iblis semesta.

RagamJatim.id
– Dalam pelataran sunyi beberapa candi Hindu di Jawa dan Bali, sering kita temui relief atau arca seorang dewi bersenjata lengkap, mengendarai seekor singa atau kerbau, sedang menaklukkan makhluk mengerikan bersosok raksasa. Ia adalah Dewi Durga Mahisasuramardini, personifikasi kekuatan feminim tertinggi yang dikenal sebagai bidadari penjaga kosmos, namun juga penghancur iblis semesta.

Sosoknya menjelma dari mitologi India kuno, namun jejaknya menembus hingga altar-altar candi Jawa abad ke-8 hingga ke-13. Ia tak hanya disembah, namun juga ditakuti dan dihormati sebagai pelindung kerajaan, dewi pertempuran, dan simbol kekuatan sakti wanita.

Durga dalam Kitab-Kitab Purana: Sang Penghancur Mahisasura

Dewi Durga pertama kali muncul secara utuh dalam Markandeya Purana dan Devi Mahatmya (bagian dari kitab Markandeya), yang ditulis sekitar abad ke-5 M di India. Dalam kitab itu, Durga dilahirkan dari kumpulan energi para dewa yang tak sanggup menundukkan raksasa iblis bertanduk kerbau, Mahisasura.

Durga, dalam wujud Mahisasuramardini (secara harfiah: “pembantai Mahisasura”), tampil sebagai wanita bersenjata delapan hingga delapan belas tangan, membawa cakra Wisnu, trisula Siwa, gada Yama, dan pedang Indra. Ia mengendarai singa emas, berperang selama sembilan malam (yang kelak menjadi dasar perayaan Navaratri), dan membunuh Mahisasura pada malam kesepuluh.

Kitab ini menjadi fondasi pemujaan Durga sebagai aspek Devi tertinggi, dan dalam perkembangan agama Hindu aliran Shakta, Durga dilihat sebagai manifestasi Adi Shakti (energi ilahi utama).

Durga di Tanah Jawa: Dari Arca Candi hingga Prasasti Kerajaan

Kedatangan ajaran Siwa dan Hindu Shakta di Nusantara membawa serta pemujaan terhadap Durga, yang diadaptasi dalam bentuk dan simbol lokal. Di pulau Jawa, khususnya masa Kerajaan Medang (Mataram Kuno), Kadiri, hingga Singhasari dan Majapahit, Dewi Durga memiliki peran sangat penting dalam struktur spiritual kerajaan.

1. Candi Prambanan (abad ke-9 M)

Di lorong utara Candi Siwa, berdiri arca Durga Mahisasuramardini setinggi 1,5 meter. Ia digambarkan berdiri di atas kerbau Mahisasura yang merunduk, dengan empat tangan memegang cakra, pedang, perisai, dan tangan lainnya menusuk kepala iblis.

Arca ini dalam masyarakat lokal dikenal sebagai Roro Jonggrang, legenda yang menyamarkan kekuatan destruktif Durga ke dalam kisah putri cantik yang dikutuk menjadi batu. Nama "Jonggrang" sendiri berarti "tinggi ramping", sesuai postur Dewi Durga dalam relief.

2. Candi Singhasari (abad ke-13 M)

Candi ini diyakini tempat pemujaan dan pendarmaan Raja Kertanegara. Di bagian luar dinding utara terdapat arca Durga Mahisasuramardini dengan ekspresi garang, memegang atribut lengkap sebagai simbol pelindung negara dari kekacauan adharma (kejahatan). Dalam Prasasti Mula Malurung (1255 M), nama Durga disebut sebagai pelindung kerajaan Singhasari bersama Siwa dan Ganesha.

3. Candi Jago (Jajaghu)

Di candi ini, relief Durga ditemukan berdampingan dengan narasi Kakawin Smaradahana, di mana dewi-dewi menjadi medium pemurnian raja. Dalam kakawin tersebut, sosok Durga juga dikaitkan dengan kematian sebagai penyucian menuju moksha, mempertegas peran spiritualnya sebagai penghancur ego dan karma buruk.

Durga dalam Lontar Bali dan Jawa Kuno: Dewi Suci atau Daya Gelap?

Dalam beberapa lontar Jawa Kuna seperti Lontar Bhomakawya, Lontar Durga Kalika, dan Lontar Tutur Bhairawa, sosok Durga mulai bergeser dari figur suci menjadi aspek yang lebih ambivalen. Ia digambarkan sebagai dewi penjaga pemakaman, penguasa malam, bahkan sumber kekuatan ilmu hitam dalam aliran Bhairawa-Tantra.

Durga dalam wujud Durga Kalika atau Durga Siwa Bhairawi disebut memiliki kuil-kuil di hutan, gua, dan tempat sunyi. Namun bukan untuk disembah dalam arti konvensional, melainkan untuk "dipuja dan dijinakkan" agar tidak murka.

Dalam Tutur Bhuwana, salah satu teks filsafat Hindu Jawa, Durga disamakan dengan Ibu Pertiwi, pemilik seluruh energi penciptaan dan kehancuran, yang mampu menyeimbangkan unsur Bhuta (materi) dan Atma (jiwa).

Durga dan Kekuatan Perempuan dalam Budaya Jawa

Tak seperti di India yang menempatkan Durga sebagai dewi utama di banyak kuil, di Nusantara, Durga lebih dihormati secara tersembunyi namun dalam, sebagai simbol kekuatan wanita yang melampaui peran domestik. Ia menjadi lambang kekuatan spiritual, pelindung negeri, dan pengendali kekacauan.

Dalam tradisi keraton Jawa, terutama dalam ritual "ruwatan", doa pemanggil kekuatan Durga digunakan untuk membuang sial. Bahkan dalam legenda rakyat seperti Calon Arang, kekuatan hitam yang diasosiasikan dengan Durga dianggap bisa diubah menjadi kekuatan pemulihan jika dikendalikan oleh resi atau brahmana.

Kesimpulan: Dewi Durga, Bayangan Ibu Semesta dan Gerbang Kehancuran

Dewi Durga Mahisasuramardini adalah gambaran sempurna kekuatan feminim yang utuh: penyayang namun menghancurkan, lembut namun mematikan, pelindung namun juga pengadil. Ia tidak hanya hidup dalam kitab-kitab Purana India, tetapi mengakar kuat di batu, relief, dan mitologi candi-candi Jawa dan Bali.

Di balik keheningan patung batu di Prambanan atau bayang-bayang malam di pelataran Candi Singhasari, Durga terus mengawasi dunia, menjaga keseimbangan antara dharma dan adharma, antara terang dan gelap, sebagaimana dunia ini selalu berada di antara dua sisi kekuatan.
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar