Update

Plaosan: Candi Katresnan di Ujung Senja, Taj Mahal Tanah Jawa yang Menyulam Cinta Lintas Iman

Di antara gumuk hijau Prambanan dan siluet senja yang menyapu langit Mataram Kuno, berdirilah Plaosan candi yang tak hanya berbicara soal batu dan bentuk, tetapi menyuarakan kisah katresnan luhur antara dua insan yang berbeda keyakinan, namun sejiwa dalam tujuan. Candi ini lebih dari sekadar bangunan suci: ia adalah Taj Mahal-nya Tanah Jawa, simbol cinta abadi yang dijahit oleh spiritualitas dan harmoni budaya.

RagamJatim.id
– Di antara gumuk hijau Prambanan dan siluet senja yang menyapu langit Mataram Kuno, berdirilah Plaosan candi yang tak hanya berbicara soal batu dan bentuk, tetapi menyuarakan kisah katresnan luhur antara dua insan yang berbeda keyakinan, namun sejiwa dalam tujuan. Candi ini lebih dari sekadar bangunan suci: ia adalah Taj Mahal-nya Tanah Jawa, simbol cinta abadi yang dijahit oleh spiritualitas dan harmoni budaya.

Plaosan dan Simbolisme Cinta Dua Dinasti

Candi Plaosan berada di Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Kompleks ini merupakan bagian dari kawasan arkeologi yang membentang antara Candi Prambanan hingga Candi Sewu. Namun Plaosan memiliki kekhasan: ia bukan hanya tempat pemujaan Buddha, tetapi juga saksi historis dari penyatuan dua dinasti besar Syailendra yang beragama Buddha dan Sanjaya yang beragama Hindu Siwa.

Menurut banyak ahli sejarah, Candi Plaosan dibangun oleh Rakai Pikatan, seorang raja dari Wangsa Sanjaya, sebagai persembahan cinta bagi istrinya, Pramodhawardhani, putri Maharaja Samaratungga dari Wangsa Syailendra. Di balik relief dan stupa, tersimpan narasi asmara yang melampaui sekat keyakinan, menjadi simbol nyata bahwa cinta bisa merangkul dua dunia yang berbeda.

Prasasti Cri Kahulunan: Bukti Historis yang Tak Terbantahkan

Sumber utama sejarah Candi Plaosan berasal dari Prasasti Cri Kahulunan bertahun 842 M, yang menyebut sosok “Cri Kahulunan” (gelar bagi Pramodhawardhani) sebagai tokoh utama pendiri candi. Prasasti ini berbahasa Jawa Kuno dengan aksara Pallawa, dan kini disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Dalam teks prasasti tersebut disebutkan:

“...cri kahulunan mapanud mulacari... rakai pikatan mamrih dharma ring kamulan sang hyang dharma...”

Terjemahannya menyebut bahwa sang permaisuri agung, atas restu dan dukungan Rakai Pikatan, membangun tempat suci bagi dharma. Dengan demikian, Plaosan bukan hanya bangunan keagamaan, tetapi juga monumen spiritualitas dan cinta sejati antara seorang raja Hindu dan ratu Buddha.

Arsitektur Kembar yang Menyiratkan Kesetaraan Jiwa

Candi Plaosan terdiri dari dua kompleks utama: Plaosan Lor (utara) dan Plaosan Kidul (selatan). Yang paling megah adalah Plaosan Lor, yang memiliki dua bangunan utama kembar sebuah arsitektur langka dalam dunia candi di Jawa. Simetri ini ditafsirkan sebagai lambang kesetaraan dalam hubungan Raja dan Ratu, dua jiwa dalam harmoni, dua iman dalam damai.

Relief-relief di tubuh candi menggambarkan Bodhisattva, Tara, serta tokoh-tokoh wanita yang kemungkinan besar merupakan representasi Pramodhawardhani. Menariknya, meskipun Plaosan bercorak Buddha, terdapat unsur-unsur Hindu seperti hiasan kala-makara dan arsitektur perwara yang menyerupai gaya Siwaistis. Ini menandakan perpaduan dua kepercayaan dalam satu karya monumental.

Catatan Lontar dan Kitab Kuno

Dalam Lontar Sanghyang Kamahayanikan sebuah naskah suci Buddhis Tantrayana yang disusun di Jawa disebutkan konsep mandala dan dualitas maskulin-feminin dalam praktik meditasi. Banyak pakar menyamakan konsep ini dengan struktur arsitektur Candi Plaosan yang berpasangan dan berorientasi timur-barat, melambangkan yin-yang spiritual.

Sementara dalam Kitab Tantu Panggelaran, disebutkan bahwa wilayah Prambanan adalah tempat “papaning suci para dewa dan ratu agama”. Meskipun tidak menyebut Plaosan secara langsung, referensi ini dianggap mencakup wilayah tersebut dan memberi gambaran bahwa tanah ini sejak dulu merupakan pusat spiritual multikepercayaan.

Simbolisme Plaosan: Antara Rasa, Rasa, dan Rasa

Plaosan bukan sekadar situs keagamaan, ia adalah wahana rasa. Dalam tradisi Jawa, rasa memiliki tiga lapisan: rasa sebagai perasaan, rasa sebagai persembahan, dan rasa sebagai intuisi batin. Candi ini merepresentasikan ketiganya dibangun dari rasa cinta, dijadikan tempat rasa persembahan spiritual, dan ditafsirkan sebagai rasa dalam laku tapa dan meditasi.

Tidak heran jika dalam tradisi tutur masyarakat lokal, Plaosan dianggap tempat yang adem, rukun, dan penuh pengayoman. Aura ketenangan yang memancar dari kawasan ini menjadi penanda bahwa ia bukan sekadar bangunan masa lalu, tetapi juga ruang hidup spiritual masa kini.

Dari Batu Menjadi Doa yang Tak Pernah Usai

Meski telah melewati gempa, penjajahan, dan pelupaan, Candi Plaosan tetap berdiri. Pemerintah Indonesia telah menjadikannya sebagai Cagar Budaya Nasional. Para pemeditasi, pelajar sejarah, dan pencinta budaya terus datang, tidak hanya untuk memotret bangunan, tetapi menyerap pesan hidup yang dibisikkan oleh setiap relief dan batuan purba.


Candi ini, sebagaimana Taj Mahal di India, menyampaikan bahwa cinta bisa abadi jika dibangun atas dasar ketulusan dan penghormatan terhadap perbedaan.


Penutup: Plaosan, Taman Cinta Leluhur Jawa


Plaosan bukan hanya milik masa lalu. Ia adalah cermin rasa, taman cinta yang diwariskan para leluhur kepada generasi penerus. Di setiap undakan dan pahatan, tersembunyi nilai-nilai adiluhung tentang toleransi, cinta lintas batas, dan kedamaian spiritual.


Di tengah dunia yang kerap gaduh oleh perbedaan, Plaosan mengajarkan: bahwa cinta yang sejati tak bertanya dari mana asalmu, apa agamamu, atau siapa dewa-dewimu. Ia hanya perlu satu: rasa yang linuwih, mengalir dari hati yang jernih.
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar