Perempuan Terlupakan dalam Sejarah Kerajaan Nusantara: Menyelami Jejak Mereka dalam Prasasti, Lontar, dan Kitab Kuno
0 menit baca
![]() |
Foto : Ilustrasi |
RagamJatim.id - Di balik deretan nama raja dan patih yang mendominasi sejarah kerajaan Nusantara, ada perempuan-perempuan tangguh yang memainkan peran penting dalam kekuasaan, spiritualitas, dan budaya. Sayangnya, kisah mereka seringkali hanya muncul sebagai catatan kaki dalam prasasti, atau sekadar latar dalam lontar dan kitab kuno.
Artikel ini mengajak kita menyibak kembali lembaran sejarah yang nyaris terlupakan melacak jejak para perempuan kerajaan yang selama ini tersembunyi dalam bayang-bayang.
1. Mahendradatta: Ibu Airlangga, Sang Brahmini dari Bali
Latar Sejarah:
Mahendradatta (juga dikenal sebagai Gunapriyadharmapatni) adalah putri dari Raja Udayana Warmadewa, raja dari Kerajaan Bali Kuna, yang kemudian menikah dengan raja dari Jawa Timur, Sri Makutawangsawardhana. Dari pernikahan ini lahirlah Airlangga tokoh penting dalam sejarah Jawa yang kelak mendirikan Kerajaan Kahuripan.
Bukti Sejarah:
Prasasti Pucangan (1041 M) menyebutkan Mahendradatta sebagai ibu dari Sri Maharaja Airlangga.
Dalam lontar-lontar Bali seperti Usana Bali dan Calonarang Bali, ia digambarkan sebagai wanita sakti yang terlibat dalam dunia spiritual.
1. Mahendradatta: Ibu Airlangga, Sang Brahmini dari Bali
Latar Sejarah:
Mahendradatta (juga dikenal sebagai Gunapriyadharmapatni) adalah putri dari Raja Udayana Warmadewa, raja dari Kerajaan Bali Kuna, yang kemudian menikah dengan raja dari Jawa Timur, Sri Makutawangsawardhana. Dari pernikahan ini lahirlah Airlangga tokoh penting dalam sejarah Jawa yang kelak mendirikan Kerajaan Kahuripan.
Bukti Sejarah:
Prasasti Pucangan (1041 M) menyebutkan Mahendradatta sebagai ibu dari Sri Maharaja Airlangga.
Dalam lontar-lontar Bali seperti Usana Bali dan Calonarang Bali, ia digambarkan sebagai wanita sakti yang terlibat dalam dunia spiritual.
Kitab Calonarang (versi Kediri) secara alegoris menggambarkannya sebagai penyihir jahat, namun sebenarnya merupakan transformasi kisah tokoh kuat yang dikalahkan oleh patriarki dan transisi agama.
Analisis:
Mahendradatta adalah simbol pengaruh Bali atas Jawa melalui pernikahan politik. Ia juga membawa serta ajaran Durga dalam bentuk pemujaan pada dewi-dewi kuat, yang kemudian dibingkai negatif dalam narasi Hindu-Siwa yang dominan setelahnya. Ini menandakan pergeseran kekuasaan ideologis dan gender.
2. Pramodhawardhani: Arsitek Spiritual Borobudur
Latar Sejarah:
Pramodhawardhani adalah putri Raja Samarattungga dari Dinasti Syailendra dan istri dari Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya. Perkawinan ini menggabungkan dua dinasti besar yang kerap diposisikan sebagai rival ideologi: Buddhisme Mahayana dan Hindu-Siwa.
Analisis:
Mahendradatta adalah simbol pengaruh Bali atas Jawa melalui pernikahan politik. Ia juga membawa serta ajaran Durga dalam bentuk pemujaan pada dewi-dewi kuat, yang kemudian dibingkai negatif dalam narasi Hindu-Siwa yang dominan setelahnya. Ini menandakan pergeseran kekuasaan ideologis dan gender.
2. Pramodhawardhani: Arsitek Spiritual Borobudur
Latar Sejarah:
Pramodhawardhani adalah putri Raja Samarattungga dari Dinasti Syailendra dan istri dari Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya. Perkawinan ini menggabungkan dua dinasti besar yang kerap diposisikan sebagai rival ideologi: Buddhisme Mahayana dan Hindu-Siwa.
Bukti Sejarah:
Prasasti Tri Tepusan (842 M) mencatat pemberian tanah oleh Pramodhawardhani untuk pemeliharaan bangunan suci Borobudur (Kamūlān Bhūmisambhāra).
Prasasti Rukam (829 M) menunjukkan peran aktifnya dalam mendirikan kembali desa-desa dan infrastruktur pasca bencana, sebagai bentuk kepedulian seorang pemimpin.
Prasasti Tri Tepusan (842 M) mencatat pemberian tanah oleh Pramodhawardhani untuk pemeliharaan bangunan suci Borobudur (Kamūlān Bhūmisambhāra).
Prasasti Rukam (829 M) menunjukkan peran aktifnya dalam mendirikan kembali desa-desa dan infrastruktur pasca bencana, sebagai bentuk kepedulian seorang pemimpin.
Analisis:
Pramodhawardhani tidak hanya menjadi permaisuri, tetapi tokoh spiritual-politik yang menyatukan dua dinasti besar. Perannya dalam proyek arsitektur dan sosial sangat signifikan namun jarang dikupas, terutama dalam narasi sejarah nasional yang lebih menyorot pria.
Pramodhawardhani tidak hanya menjadi permaisuri, tetapi tokoh spiritual-politik yang menyatukan dua dinasti besar. Perannya dalam proyek arsitektur dan sosial sangat signifikan namun jarang dikupas, terutama dalam narasi sejarah nasional yang lebih menyorot pria.
3. Dyah Kebi: Penghubung Dinasti yang Terlupakan
Latar Sejarah:
Dyah Kebi adalah sosok perempuan yang muncul dalam beberapa prasasti era Mataram Kuno, namun perannya tetap misterius. Ia diyakini berasal dari lingkaran istana dan memiliki status tinggi.
Bukti Sejarah:
Prasasti Telang (904 M) menyebut Dyah Kebi sebagai pemberi tanah untuk pembangunan tempat suci. Dalam Prasasti Mantyasih, namanya muncul dalam struktur silsilah raja, namun hanya disebut sekilas.
Latar Sejarah:
Dyah Kebi adalah sosok perempuan yang muncul dalam beberapa prasasti era Mataram Kuno, namun perannya tetap misterius. Ia diyakini berasal dari lingkaran istana dan memiliki status tinggi.
Bukti Sejarah:
Prasasti Telang (904 M) menyebut Dyah Kebi sebagai pemberi tanah untuk pembangunan tempat suci. Dalam Prasasti Mantyasih, namanya muncul dalam struktur silsilah raja, namun hanya disebut sekilas.
Analisis:
Munculnya nama Dyah Kebi sebagai donatur tanah dan bagian dari istana menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak atas properti dan wewenang dalam ritual keagamaan. Ketidakjelasan perannya menandakan banyaknya jejak perempuan yang terhapus oleh waktu.
4. Sundari dan Premi: Perempuan Cendekia dari Bali Kuna
Latar Sejarah:
Sundari dan Premi disebut dalam berbagai lontar sebagai bagian dari keluarga kerajaan di era Sri Kesari Warmadewa, raja Bali tertua yang meninggalkan bukti tertulis (abad ke-10).
Bukti Sejarah:
Prasasti Blanjong (914 M) tidak menyebut nama mereka secara langsung, namun dalam beberapa lontar turunannya seperti Tutur Gama dan Lontar Wariga, nama-nama perempuan kerajaan muncul sebagai pemegang ilmu spiritual.
Dalam lontar Usada, perempuan disebut sebagai ahli pengobatan dan penjaga naskah kuno.
Analisis:
Perempuan dalam tradisi Bali Kuna memiliki posisi spiritual yang kuat—mereka dipercaya sebagai penjaga ilmu dan ritual. Ini menunjukkan bahwa pada beberapa peradaban Nusantara, perempuan tidak hanya sebagai pendamping, tetapi juga pilar intelektual dan spiritual kerajaan.
5. Isanatunggawijaya: Ratu Tunggal Dinasti Isyana
Latar Sejarah:
Isanatunggawijaya merupakan penerus tahta Mpu Sindok yang memindahkan pusat kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur setelah letusan besar Gunung Merapi (abad ke-10). Ia memimpin secara tunggal sebelum kerajaan dibagi kepada keturunannya, termasuk Sri Lokapala (ayah Airlangga).
Munculnya nama Dyah Kebi sebagai donatur tanah dan bagian dari istana menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak atas properti dan wewenang dalam ritual keagamaan. Ketidakjelasan perannya menandakan banyaknya jejak perempuan yang terhapus oleh waktu.
4. Sundari dan Premi: Perempuan Cendekia dari Bali Kuna
Latar Sejarah:
Sundari dan Premi disebut dalam berbagai lontar sebagai bagian dari keluarga kerajaan di era Sri Kesari Warmadewa, raja Bali tertua yang meninggalkan bukti tertulis (abad ke-10).
Bukti Sejarah:
Prasasti Blanjong (914 M) tidak menyebut nama mereka secara langsung, namun dalam beberapa lontar turunannya seperti Tutur Gama dan Lontar Wariga, nama-nama perempuan kerajaan muncul sebagai pemegang ilmu spiritual.
Dalam lontar Usada, perempuan disebut sebagai ahli pengobatan dan penjaga naskah kuno.
Analisis:
Perempuan dalam tradisi Bali Kuna memiliki posisi spiritual yang kuat—mereka dipercaya sebagai penjaga ilmu dan ritual. Ini menunjukkan bahwa pada beberapa peradaban Nusantara, perempuan tidak hanya sebagai pendamping, tetapi juga pilar intelektual dan spiritual kerajaan.
5. Isanatunggawijaya: Ratu Tunggal Dinasti Isyana
Latar Sejarah:
Isanatunggawijaya merupakan penerus tahta Mpu Sindok yang memindahkan pusat kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur setelah letusan besar Gunung Merapi (abad ke-10). Ia memimpin secara tunggal sebelum kerajaan dibagi kepada keturunannya, termasuk Sri Lokapala (ayah Airlangga).
Bukti Sejarah:
Prasasti Pucangan mencatat Isanatunggawijaya sebagai nenek dari Airlangga, ratu Dinasti Isyana yang mengukuhkan Kahuripan sebagai pusat kekuasaan.
Kitab Calonarang versi Kediri menyebutnya dalam konteks ajaran dan keilmuan spiritual.
Analisis:
Sebagai pemimpin perempuan, Isanatunggawijaya menandai fase penting dalam sejarah transisi kekuasaan Jawa. Namun dalam historiografi modern, namanya jarang disebut secara setara dengan tokoh-tokoh pria.
Penyebab Terhapusnya Jejak Mereka
Penyebab Penjelasan
Dominasi Patriarki Historiografi ditulis oleh pria, dengan fokus pada peran militer dan politik maskulin.
Transisi Agama dan Budaya Dari animisme/Buddha ke Hindu-Siwa/Islam menggeser narasi perempuan sakti jadi antagonis (contoh: Calon Arang).
Prasasti Pucangan mencatat Isanatunggawijaya sebagai nenek dari Airlangga, ratu Dinasti Isyana yang mengukuhkan Kahuripan sebagai pusat kekuasaan.
Kitab Calonarang versi Kediri menyebutnya dalam konteks ajaran dan keilmuan spiritual.
Analisis:
Sebagai pemimpin perempuan, Isanatunggawijaya menandai fase penting dalam sejarah transisi kekuasaan Jawa. Namun dalam historiografi modern, namanya jarang disebut secara setara dengan tokoh-tokoh pria.
Penyebab Terhapusnya Jejak Mereka
Penyebab Penjelasan
Dominasi Patriarki Historiografi ditulis oleh pria, dengan fokus pada peran militer dan politik maskulin.
Transisi Agama dan Budaya Dari animisme/Buddha ke Hindu-Siwa/Islam menggeser narasi perempuan sakti jadi antagonis (contoh: Calon Arang).
Reduksi dalam Cerita Rakyat Tokoh perempuan sakti diubah menjadi "penyihir", "penggoda", atau "pengkhianat" dalam kisah lisan.
Upaya Menghidupkan Kembali Jejak Perempuan Nusantara
Saat ini, para peneliti, arkeolog, dan sejarawan mulai menelusuri ulang teks-teks lama dengan pendekatan feminis-historis. Banyak lontar dan prasasti yang selama ini dibaca hanya dari sudut pandang garis keturunan pria kini direkonstruksi ulang untuk menggali narasi yang lebih setara.
“Menulis ulang sejarah bukan berarti mengubah masa lalu. Melainkan menyinari sisi-sisi yang selama ini tersembunyi.” – RagamJatim.id
Upaya Menghidupkan Kembali Jejak Perempuan Nusantara
Saat ini, para peneliti, arkeolog, dan sejarawan mulai menelusuri ulang teks-teks lama dengan pendekatan feminis-historis. Banyak lontar dan prasasti yang selama ini dibaca hanya dari sudut pandang garis keturunan pria kini direkonstruksi ulang untuk menggali narasi yang lebih setara.
“Menulis ulang sejarah bukan berarti mengubah masa lalu. Melainkan menyinari sisi-sisi yang selama ini tersembunyi.” – RagamJatim.id