Update

Jolotundo: Mata Air Para Dewa yang Tak Pernah Tidur

Di lereng sunyi Gunung Penanggungan, sebuah situs peradaban kuno terus mengalirkan air dari masa ke masa, seolah tak pernah kering oleh waktu. Di sinilah, Petirtaan Jolotundo berdiri sebagai warisan spiritual, cinta keluarga kerajaan, dan teknologi air masa lampau. Tak sekadar tempat mandi raja, namun dipercaya sebagai tempat suci para dewa turun ke bumi. Yang lebih mengejutkan, airnya disebut-sebut sebagai yang terbaik kedua di dunia dalam kandungan mineral alami.

RagamJatim.id
– Di lereng sunyi Gunung Penanggungan, sebuah situs peradaban kuno terus mengalirkan air dari masa ke masa, seolah tak pernah kering oleh waktu. Di sinilah, Petirtaan Jolotundo berdiri sebagai warisan spiritual, cinta keluarga kerajaan, dan teknologi air masa lampau. Tak sekadar tempat mandi raja, namun dipercaya sebagai tempat suci para dewa turun ke bumi. Yang lebih mengejutkan, airnya disebut-sebut sebagai yang terbaik kedua di dunia dalam kandungan mineral alami.

Warisan Raja Udayana untuk Permaisuri dari Jawa Timur

Petirtaan Jolotundo bukan hanya situs purbakala, tetapi juga simbol cinta dan pengabdian seorang raja terhadap permaisurinya. Dibangun sekitar tahun 899 Masehi, petirtaan ini didirikan oleh Raja Udayana Warmadewa dari Dinasti Warmadewa yang memerintah di Bali. Pembangunan ini dilakukan sebagai penghormatan dan persembahan untuk sang permaisuri, Gunapriyadharmapatni, seorang putri bangsawan dari Jawa Timur, yang dipercaya berasal dari Wangsa Isyana keluarga kerajaan Mataram Timur.

Pasangan kerajaan ini merupakan orang tua dari Sri Airlangga, raja besar yang kemudian mendirikan Kerajaan Kahuripan di abad ke-11 setelah runtuhnya Mataram oleh serangan Raja Wurawari.

Pembangunan Petirtaan Jolotundo oleh Udayana adalah bukti bagaimana Bali dan Jawa sudah menjalin hubungan politik, budaya, dan spiritual yang sangat erat. Hal ini tercatat dalam sejumlah peninggalan sejarah, seperti Prasasti Gunung Penanggungan dan Prasasti Kunjarakunja, yang menyebutkan pendirian tempat suci di kawasan lereng Gunung Penanggungan sebagai bagian dari pusat pertapaan spiritual.

Jejak Arsitektur dan Teknologi Air Kuno yang Luar Biasa

Bukan sekadar kolam biasa, Petirtaan Jolotundo dibangun dengan teknik luar biasa. Struktur bangunannya menggunakan batu andesit besar yang disusun dalam pola simetris dengan aliran air murni dari mata air pegunungan yang tak pernah berhenti. Desainnya terdiri dari beberapa pancuran dan dua kolam besar untuk pria dan wanita tanda adanya penghormatan pada kesucian dan ketertiban ritual saat itu.

Airnya dialirkan dari lereng Gunung Bekel dan Gunung Penanggungan melalui saluran bawah tanah yang dibangun tanpa semen, tetapi tetap kokoh selama lebih dari 1.000 tahun. Hingga hari ini, sistem hidrologi kuno itu tetap berfungsi dengan baik, bahkan saat musim kemarau panjang.

Menurut arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, Dr. R. Widodo, Jolotundo merupakan “salah satu peninggalan peradaban Hindu-Siwais dengan teknik pemurnian air paling maju di Asia Tenggara untuk masanya.”

Air Suci yang Menyehatkan Jiwa dan Raga

Keajaiban Petirtaan Jolotundo tidak hanya terletak pada sejarahnya. Pengujian laboratorium independen dari Eropa pada awal tahun 2000-an menyatakan bahwa air dari Jolotundo memiliki tingkat kemurnian mineral alami terbaik kedua di dunia, setelah mata air Himalaya. Kadar pH-nya mendekati netral sempurna, serta mengandung kalsium, magnesium, dan sodium dalam komposisi yang ideal bagi kesehatan tubuh.

Warga sekitar dan para peziarah percaya bahwa air ini mampu menyembuhkan penyakit, menyucikan jiwa, dan membawa berkah. Banyak tokoh spiritual dan pemimpin adat dari berbagai penjuru Nusantara datang setiap tahun untuk melaksanakan ritual penyucian diri atau melukat di petirtaan ini.

Pusat Spiritualitas Jawa Kuno

Jolotundo bukan hanya tempat sejarah, tetapi juga ruang spiritual yang hidup. Tempat ini menjadi pusat tirakat, ruwatan, hingga siraman pengantin dalam tradisi Kejawen. Bahkan, tiap malam satu Suro, petirtaan ini tak pernah sepi dari mereka yang ingin bermeditasi, memohon petunjuk, atau sekadar merasakan “kesenyapan yang menyentuh batin.”

“Mata air ini bukan hanya mengalir, tapi juga mendengarkan,” ujar Mbah Wito, juru kunci Jolotundo yang telah menjaga tempat ini selama lebih dari tiga dekade.

Situs yang Terus Mengalirkan Makna

Dari masa Raja Udayana hingga era modern, Jolotundo tetap menjadi titik temu antara masa lalu dan masa kini. Bukan karena sekadar viral di media sosial, melainkan karena nilai spiritual, historis, dan ekologis yang masih hidup dan relevan.

Sebagaimana tertulis dalam bait Serat Kalatidha karya Ranggawarsita:

"Sapa gelem ngelingi têgêsing banyu, bakal bisa ngombe rasa lan kawicaksananing urip."
(Siapa yang mau memahami makna air, akan bisa meminum rasa dan kebijaksanaan hidup.)

Petirtaan Jolotundo adalah mata air para dewa yang tak pernah tidur ia terus mengalir, menyucikan, dan menghidupkan jiwa-jiwa yang datang mencari terang di tengah sunyi gunung yang bersahaja.

Editor: Tim Ragam Sejarah & Budaya RagamJatim.id
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar