Menelisik Jejak Sejarah Candi Jago: Warisan Spiritual Kerajaan Singhasari di Lereng Tengger
0 menit baca
RagamJatim.id – Tersembunyi di antara hijaunya perbukitan Tumpang, Kabupaten Malang, berdiri sebuah peninggalan purbakala yang menyimpan misteri, makna spiritual, dan narasi kebesaran leluhur Jawa Timur. Dialah Candi Jago, situs keagamaan yang menjadi penanda transformasi besar antara Hindu-Buddha dan menjadi ruang hening perenungan di masa keemasan Singhasari.
Candi Jago dalam Naskah Kuno: Pararaton dan Negarakertagama
Nama Candi Jago dalam beberapa sumber kuno disebut Jajaghu muncul secara eksplisit dalam kitab Pararaton, kitab sejarah yang menuliskan silsilah raja-raja Jawa. Dalam kitab tersebut, Candi Jago dikisahkan sebagai tempat pendharmaan Sri Maharaja Wisnuwardhana, raja besar Singhasari yang wafat pada tahun 1268 M.
Tak hanya itu, dalam pupuh 41 dan 42 Negarakertagama, karya agung Mpu Prapanca, tertulis bahwa Raja Hayam Wuruk dari Majapahit melakukan kunjungan spiritual ke Candi Jago dalam rangka ziarah ke makam leluhurnya:
"Sang Prabu mapun ring Jajaghu, pinuja sri raja maheswara, atur puja ring kamulan."
(Negarakertagama, pupuh XLII)
Artinya: Sang Raja (Hayam Wuruk) tiba di Jajaghu, memuja raja agung yang telah mangkat, mempersembahkan doa di tempat leluhur.
Pandangan Ahli: Perspektif Arkeologi dan Sejarah Budaya
Dr. Agus Aris Munandar, arkeolog senior dari Universitas Indonesia, menyebut Candi Jago sebagai "salah satu contoh nyata proses sinkretisme antara Buddha Mahayana dan pengaruh Hindu-Siwa yang mulai berkembang saat Singhasari memasuki fase transisi menuju Majapahit."
Ia menambahkan, “Relief Kunjarakarna yang menggambarkan perjalanan jiwa setelah kematian merupakan simbol bahwa candi ini bukan hanya tempat pemujaan, tapi juga representasi dari pemahaman tentang kematian dan reinkarnasi dalam budaya Jawa klasik.”
Sementara itu, Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa menyatakan bahwa Jajaghu adalah cerminan dari pemikiran Jawa yang sangat menghargai leluhur. “Bukan kebetulan jika candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan kepada Wisnuwardhana, karena di masa itu, konsep dewaraja dan pendharmaan sangat kuat memengaruhi politik dan spiritual kerajaan.”
Arsitektur: Gaya Mandala Bertingkat dan Relief Bercerita
Candi Jago memiliki struktur punden berundak yang dibangun dari batu andesit dan batu bata. Meski kini hanya tersisa bagian bawah hingga tubuh candi, namun keindahan relief yang menceritakan Parthayajna, Lalitawistara, hingga cerita Tantri menegaskan fungsinya sebagai medium edukasi spiritual dan visualisasi nilai ajaran.
Arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur menyebut Candi Jago sebagai "kitab batu yang terbuka," karena kekayaan relief yang merepresentasikan kisah moral, spiritual, dan sosial dalam bentuk naratif.
Pemaknaan Sosial dan Spiritualitas Lokal
Bagi masyarakat sekitar, Candi Jago bukan hanya objek kunjungan sejarah, melainkan bagian dari identitas lokal. Prosesi spiritual seperti ritual nyadran, bersih desa, hingga persembahyangan Waisak masih dijalankan di sekitar situs ini.
Ki Budi Santosa, budayawan Malang, menyebutkan bahwa aura Candi Jago masih terasa kuat hingga kini. “Ini bukan sekadar batu kuno, ini tempat yang masih menyimpan energi leluhur. Banyak orang datang bukan hanya untuk wisata, tapi mencari ketenangan batin,”
Menuju Revitalisasi dan Promosi Budaya
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang terus berupaya melakukan revitalisasi kawasan Candi Jago. Rencana digitalisasi relief, perbaikan akses jalan, serta pembangunan museum mini sedang digodok bersama komunitas pelestari sejarah.
Dengan dukungan publik dan pendekatan edukatif berbasis budaya, diharapkan Candi Jago tidak hanya menjadi destinasi wisata sejarah, tetapi juga pusat pembelajaran warisan budaya Jawa Timur.
Penutup:
Candi Jago bukan sekadar situs arkeologi. Ia adalah perwujudan nilai spiritual, estetika seni, dan kecanggihan berpikir masyarakat Jawa klasik. Melalui kitab kuno, interpretasi arkeolog, dan suara masyarakat lokal, kita belajar bahwa merawat sejarah bukan hanya menjaga batu tua, tapi juga menyambung makna kehidupan lintas generasi.