Update

Misteri Situs Pendem di Batu: Prasasti Sangguran dan Konspirasi yang Mengubur Sejarah Nusantara

Di tengah pesona alam Kota Batu, Jawa Timur, tersimpan sebuah rahasia sejarah yang mengguncang: Situs Pendem. Situs arkeologi ini, yang terletak di Desa Pendem, Kecamatan Junrejo, menjadi saksi bisu kejayaan Mataram Kuno pada abad ke-10.

Batu, RagamJatim.id
– Di tengah pesona alam Kota Batu, Jawa Timur, tersimpan sebuah rahasia sejarah yang mengguncang: Situs Pendem. Situs arkeologi ini, yang terletak di Desa Pendem, Kecamatan Junrejo, menjadi saksi bisu kejayaan Mataram Kuno pada abad ke-10.

Namun, di balik temuan reruntuhan candi dan artefak bersejarah, muncul dugaan konspirasi besar yang seolah sengaja mengubur jejak sejarah Nusantara, terutama melalui nasib Prasasti Sangguran yang kini teronggok di halaman bangsawan Inggris.

Apa sebenarnya yang disembunyikan dari situs ini? Situs Pendem: Jejak Kejayaan Mataram KunoSitus Pendem pertama kali mencuri perhatian arkeolog pada 2020, ketika Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur menemukan fondasi candi berbahan bata dengan sumuran berukuran 2,1 x 2,1 meter di kedalaman 1,8 meter.

Temuan ini diperkuat dengan keberadaan peripih berbahan batu andesit, arca Siwa Trisira, yoni, dan arca Nandi, yang mengindikasikan bahwa situs ini adalah bangunan suci dari era Mataram Kuno, kemungkinan abad ke-10. Lokasinya yang strategis di tepi Sungai Brantas dan dekat Gunung Wukir menambah nilai historisnya sebagai pusat spiritual dan budaya.

Menurut sejarawan Universitas Negeri Malang, Dr. Dwi Cahyono, Situs Pendem bukan sekadar reruntuhan candi.

“Situs ini adalah penanda awal sejarah Kota Batu. Letaknya di antara sungai suci Brantas dan Gunung Wukir, yang dalam legenda lokal disebut Rabut Jalu, menunjukkan pemilihan lokasi yang penuh makna spiritual,” ungkapnya.

Ia juga menduga candi ini terkait erat dengan Prasasti Sangguran, yang menyebutkan sebuah bangunan suci di Mananjung, nama kuno wilayah Songgoriti saat ini.

Prasasti Sangguran: Dokumen Sakral yang DirampasPrasasti Sangguran, atau dikenal sebagai Minto Stone, adalah piagam bersejarah bertarikh 850 Saka (2 Agustus 928 Masehi) yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga, raja terakhir Mataram Kuno periode Jawa Tengah.

Prasasti ini, yang ditulis dalam aksara Jawa Kuno dengan pembukaan berbahasa Sanskerta, mencatat pemberian status sima (tanah perdikan bebas pajak) kepada Desa Sangguran. Uniknya, sima ini diberikan kepada komunitas juru gusali, yaitu para pandai besi yang membuat senjata dan alat pertanian, sebuah profesi langka yang dihormati pada masa itu.

Dalam transkripsi prasasti yang diterjemahkan oleh ahli epigrafi Hasan Djafar, terdapat kutipan yang menegaskan kesucian wilayah tersebut:

“Sang tuhān i pakaraṇān makabaihan juru kanayakān, i hino samgat guṇungan pu tun tun…”
(Artinya: “Para pemuka desa dan pejabat dilarang mengganggu kesucian wilayah sima ini…”).

Kutipan ini menunjukkan betapa pentingnya Desa Sangguran sebagai pusat kegiatan spiritual dan ekonomi. Namun, nasib prasasti ini tragis. Pada 1812, Kolonel Colin Mackenzie, perwira Inggris di bawah perintah Thomas Stamford Raffles, menemukan prasasti ini di Ngandat, hanya 1 kilometer dari Situs Pendem.

Alih-alih dilestarikan, prasasti ini diangkut ke Surabaya, lalu dikirim ke Kolkata, India, pada 1813, sebagai hadiah untuk Gubernur Jenderal Inggris, Lord Minto. Kini, prasasti berbobot 3,5 ton itu tergeletak tak terawat di pekarangan keluarga Minto di Skotlandia, menjadi simbol penjarahan budaya era kolonial.

Konspirasi Besar: Mengubur Jejak Nusantara?Kisah pemindahan Prasasti Sangguran memunculkan dugaan adanya konspirasi untuk mengaburkan sejarah Nusantara. Sejarawan Inggris, Peter Carey, dalam wawancara dengan Historia.ID, menyebut Inggris sebagai “pencuri aset Indonesia nomor wahid” pada masa kolonial.

Ia menyoroti bagaimana artefak-artefak penting seperti Prasasti Sangguran dan Prasasti Pucangan sengaja dipindahkan untuk menghapus jejak kejayaan kerajaan-kerajaan lokal.

“Prasasti ini bukan sekadar batu, tetapi naskah hidup yang mencatat peralihan kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur di bawah Mpu Sindok,” ujar Carey.

Yang lebih mencengangkan, Prasasti Sangguran mengandung kutukan sakral bagi siapa saja yang memindahkannya.

Dalam baris 28–39 bagian verso, tertulis: “Potong hidungnya, belah kepalanya, sobek perutnya, cabut ususnya, makan dagingnya, minum darahnya, dan habisi dia tanpa ampun.”

Kutukan ini, menurut penelitian Arlo Griffiths, Wayan Jarrah Sastrawan, dan Eko Bastiawan (2024), bukan sekadar ancaman, melainkan bagian dari sistem hukum spiritual untuk melindungi kesucian wilayah sima.

Anehnya, mereka yang terlibat dalam pemindahan prasasti ini dari Lord Minto, Raffles, hingga Bupati Malang saat itu—dilaporkan mengalami nasib tragis, seperti sakit, kehilangan jabatan, hingga kematian mendadak.

Apakah ini sekadar kebetulan, atau ada kekuatan gaib yang menjaga prasasti ini? Masyarakat adat Ngandat di Batu hingga kini menggelar upacara tahunan setiap Agustus untuk menghormati prasasti tersebut, yang mereka anggap memiliki aura sakral.

“Kami percaya prasasti ini menyimpan energi spiritual leluhur. Pemindahannya adalah pelanggaran terhadap keseimbangan alam,” ungkap seorang tetua adat setempat.

Kitab Kuno dan Bukti SejarahSelain Prasasti Sangguran, kitab kuno Pararaton, yang ditulis pada 1613 Masehi, memberikan petunjuk tambahan tentang pentingnya wilayah ini. Dalam Pararaton, disebutkan bahwa Gunung Wukir (Rabut Jalu) adalah tempat suci untuk bersemadi, yang kemungkinan terkait dengan Situs Pendem.

Kitab ini juga mencatat peran pandai besi seperti Mpu Gandring, yang mendapat anugerah sima dari Ken Arok, mirip dengan yang tercatat dalam Prasasti Sangguran.

“Gunung Wukir, rabut jalu, puncak suci tempat para resi bertapa…” (Pararaton, terjemahan bebas).

Sementara itu, penelitian terbaru oleh Griffiths dkk. (2024) menegaskan bahwa Prasasti Sangguran bukan hanya dokumen administrasi, tetapi juga simbol perpindahan geopolitik Mataram Kuno.

“Prasasti ini mencatat bagaimana Mpu Sindok, di bawah perintah Dyah Wawa, mempersiapkan fondasi Kerajaan Medang di Jawa Timur. Ini adalah bukti awal urbanisasi di wilayah Batu,” tulis mereka.

Upaya Repatriasi dan TantanganHingga kini, upaya memulangkan Prasasti Sangguran ke Indonesia belum membuahkan hasil. Pada 2006, tim dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mencoba bernegosiasi dengan keluarga Minto, tetapi permintaan kompensasi finansial yang tinggi menjadi hambatan. Seorang pejabat yang mengunjungi lokasi pada 2006 menyayangkan kondisi prasasti:

“Warisan kita tak terawat, miring tak jelas di halaman.”Dr. Dwi Cahyono menegaskan pentingnya repatriasi. “Prasasti Sangguran adalah jati diri Kota Batu.

Keberadaannya di Skotlandia adalah pengingat pahit akan penjarahan kolonial. Kita harus memperjuangkan kembalinya, bukan hanya demi sejarah, tetapi juga martabat budaya Nusantara,” tegasnya.

Misteri yang Belum TerpecahkanSitus Pendem dan Prasasti Sangguran menyimpan banyak rahasia yang belum terungkap. Apakah candi di Situs Pendem benar-benar Candi Mananjung yang disebut dalam prasasti? Mengapa catatan Hindia-Belanda pada 1900–1920 gagal mendeteksi keberadaan candi ini? Dan yang terpenting, apakah ada upaya sistematis untuk mengubur sejarah Nusantara melalui penjarahan artefak seperti Prasasti Sangguran, Situs Pendem kini menjadi destinasi wisata sejarah yang menarik perhatian wisatawan dan peneliti.

Namun, di balik keindahan reruntuhannya, tersimpan kisah tentang kejayaan, kutukan, dan perjuangan untuk mengembalikan identitas bangsa. Seperti kata Dwi Cahyono.

“Sejarah bukan hanya masa lalu, tetapi cermin untuk masa depan. Situs Pendem dan Prasasti Sangguran adalah pengingat bahwa kita harus menjaga warisan leluhur dengan penuh keberanian.”

Penulis: Tim Redaksi RagamJatim.id
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar