"Arjuna Wiwaha": Kitab Suci Sastra Jawa Kuno yang Menyucikan Candi-candi Nusantara
0 menit baca
RagamJatim.id – Dalam denyut spiritualitas dan estetika warisan Jawa kuno, terdapat sebuah karya sastra agung yang tidak sekadar mendendangkan kisah epik, tetapi juga menyatu dalam ritual dan pemujaan: Arjuna Wiwaha. Karya ini bukan hanya menjadi bacaan sakral dalam lingkungan keraton dan kalangan brahmana, tetapi juga memiliki peran suci dalam penyucian candi-candi utama di tanah Jawa dan Nusantara.
Mengapa kitab ini begitu penting dalam konteks arsitektur sakral? Dan bagaimana Arjuna Wiwaha menjadi refleksi laku spiritualitas ksatria Hindu-Jawa yang menghubungkan manusia, dewa, dan alam semesta? Mari kita telusuri jejaknya melalui naskah-naskah kuna dan prasasti peninggalan masa lampau.
Asal-usul “Arjuna Wiwaha”: Warisan Empu Kanwa Abad ke-11
Kitab Arjuna Wiwaha ditulis oleh Empu Kanwa, seorang resi besar yang hidup pada masa pemerintahan Raja Airlangga (1019–1042 M) dari Kerajaan Kahuripan. Karya ini merupakan salah satu bentuk kakawin, yakni puisi metrum klasik berbahasa Jawa Kuno yang dipengaruhi oleh bentuk puisi Sanskerta (seperti shloka atau kāvya). Kakawin ini terdiri dari 36 pupuh, ditulis dengan gaya estetik tinggi, dan mengandung ajaran spiritual bercorak Hindu-Siwaistik.
Kitab ini menggubah ulang kisah dari Mahabharata, terutama bagian Arjuna Tapasya, yakni tapa berat Arjuna untuk memperoleh senjata dari para dewa guna melawan musuh-musuh besar. Namun, dalam versi Jawa kuno, kisah ini diberi tafsir yang jauh lebih filosofis dan mistik, mencerminkan nilai-nilai Jawa tentang laku tapa brata, dharma, dan moksha.
Kisah Arjuna: Simbol Laku Suci Para Raja Jawa
Dalam Arjuna Wiwaha, Arjuna digambarkan bukan hanya sebagai ksatria Mahabharata, tetapi sebagai sosok Yogin seorang pertapa spiritual. Ia bertapa di Gunung Indrakila, menolak godaan para bidadari Surga, hingga berhasil mendapatkan senjata sakti dari para dewa, termasuk senjata dari Dewa Indra dan Siwa.
Kemenangan Arjuna atas para raksasa dan godaan ilahi bukan sekadar kemenangan fisik, melainkan kemenangan atas hawa nafsu dan duniawi. Inilah esensi laku utama yang hendak diwariskan kepada para raja Jawa kuno: bahwa kekuasaan sejati hanya dapat diperoleh dengan menyucikan diri dan menyatu dengan kehendak ilahi.
Penyucian Candi dan Ritual Sakral dengan Kakawin Arjuna Wiwaha
Salah satu fungsi penting Arjuna Wiwaha adalah sebagai naskah ritual penyucian, khususnya dalam pembangunan atau pentahbisan candi. Hal ini tercatat dalam berbagai lontar dan tradisi tutur para empu dan pinisepuh Jawa, yang menjadikan pembacaan kakawin ini sebagai bagian dari upacara penyucian candi seperti di Candi Penataran (Blitar), Candi Sukuh, dan bahkan Candi Prambanan.
Kakawin ini dipercaya mampu menetralkan energi negatif dan menyelaraskan aura spiritual antara bumi dan kahyangan. Dalam lontar Dharmagambhira dan catatan ritual dari era Majapahit, pembacaan Arjuna Wiwaha dilakukan di malam hari dalam prosesi sraddha atau upacara pembersihan rohani leluhur.
Jejak Arjuna Wiwaha dalam Prasasti dan Kitab Lain
Beberapa prasasti dan naskah menyebut atau merujuk pada isi Arjuna Wiwaha, di antaranya:
Prasasti Pucangan (1041 M): Mengabadikan kisah Raja Airlangga yang dikaitkan dengan Arjuna sebagai titisan dewa Wisnu. Prasasti ini mengindikasikan bagaimana karya Empu Kanwa digunakan untuk memperkuat legitimasi spiritual seorang raja.
Kitab Pararaton dan Kidung Harsawijaya: Menyebutkan bagaimana leluhur Majapahit mengikuti laku tapa seperti Arjuna demi memperoleh wahyu kerajaan dan restu para dewa.
Serat Centhini: Dalam konteks yang lebih baru, kakawin ini masih dibaca sebagai bagian dari ajaran spiritual dan meditasi oleh kalangan kaum kejawen.
Nilai-nilai Sakral dan Filosofis Kakawin Arjuna Wiwaha
Kakawin ini sarat dengan ajaran moral dan spiritual, antara lain:
Tapa Brata: Arjuna sebagai simbol manusia yang mengendalikan nafsu demi mencapai pencerahan.
Dharma Ksatria: Kewajiban pemimpin untuk menegakkan keadilan dengan jalan spiritual.
Keselarasan Kosmos: Penekanan pada keharmonisan antara manusia, alam, dan dewa sebagai pilar kehidupan Jawa.
Warisan yang Hidup: Dari Kitab ke Spiritualitas Nusantara
Hari ini, Arjuna Wiwaha bukan sekadar teks kuno. Ia hidup dalam bentuk pembacaan ulang, pentas wayang, meditasi kejawen, hingga ajaran spiritual keraton. Di berbagai pura dan tempat suci Hindu di Bali dan Jawa Timur, kakawin ini masih digunakan dalam upacara penyucian dan pembacaan kitab suci.
Bahkan, dalam pembangunan kembali situs-situs sakral seperti Candi Singhasari atau Candi Jawi, pembacaan kakawin ini kerap disisipkan sebagai bagian dari prosesi ritual rekonsagrasi.
Penutup
Arjuna Wiwaha bukan hanya puisi kuno ia adalah naskah sakral, penyuci candi, dan pemandu jiwa. Ia merepresentasikan bagaimana leluhur Jawa memadukan kekuatan sastra, spiritualitas, dan arsitektur suci dalam satu tarikan napas yang abadi. Maka tak heran jika kakawin ini dijadikan mantra utama dalam proses menyucikan situs-situs kebesaran budaya Nusantara.
Sebagaimana Arjuna yang bertapa di puncak Indrakila, bangsa ini juga memerlukan perenungan, laku tapa, dan penyucian diri agar warisan leluhur tak hanya indah secara rupa, tetapi juga suci dalam makna.