Update

Mpu Tantular: Pujangga Tangguh Penjaga Keberagaman dari Singgasana Majapahit

Kidung Leluhur Sosok Agung Nusantara “Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa.” Berbeda-beda namun satu adanya. Tiada kebenaran yang mendua.
Foto : Ilustrasi

RagamJatim.id
- Kidung Leluhur Sosok Agung Nusantara “Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa.” Berbeda-beda namun satu adanya. Tiada kebenaran yang mendua.

Tak Sekadar Empu, Ia Penjaga Jiwa Nusantara

Di antara denting gamelan, syair kakawin, dan kidung dari ruang-ruang suci Kraton Majapahit, berdirilah satu nama yang menggurat sejarah Mpu Tantular. Seorang pujangga kerajaan yang tak hanya menulis keindahan bahasa, tetapi juga mengukir semangat zaman. Di tangannya, kata menjadi senjata yang menyatukan. Dan dari bait-baitnya, lahirlah semboyan abadi yang kini tersemat di lambang negara: Bhinneka Tunggal Ika.

Asal-usul dan Latar Leluhur: Tumbuh dari Tanah Filsafat dan Keyakinan

Sejarah tak mencatat secara eksplisit di mana dan kapan Mpu Tantular dilahirkan. Namun dari puing-puing waktu dan jejak literasi, para filolog menyimpulkan: ia hidup di abad ke-14 Masehi, sejaman dengan Mpu Prapanca, Hayam Wuruk, dan Gajah Mada di tengah masa keemasan Majapahit.

Nama “Tantular” berasal dari bahasa Jawa Kuno: tan berarti “tidak”, dan tular berarti “terpengaruh”. Sebuah nama yang bukan hanya identitas, tapi cerminan watak: tak goyah oleh badai zaman.

Ia diyakini lahir dari lingkungan Brahmana Buddhis yang menekuni ajaran Mahayana serta menyerap pemahaman Siwa-Buddha, sebuah sinkretisme spiritual khas Nusantara. Latar itu menjadikannya tokoh yang fasih dalam filsafat, sastra, dan spiritualitas. Ia bukan sekadar penyair. Ia adalah pemikir dan penjaga harmoni, yang mengusung nilai persatuan dalam keberagaman jauh sebelum Indonesia lahir.

Silsilah Keilmuan: Dari Barisan Pujangga Leluhur Majapahit

Mpu Tantular bukan figur yang muncul tiba-tiba. Ia hadir sebagai kelanjutan dari silsilah keilmuan istana, yang garis pemikirannya dapat ditelusuri sebagai berikut:

Mpu Sedah & Mpu Panuluh (penyusun Kakawin Bharatayuddha – abad ke-12)
  • Diteruskan oleh generasi pujangga istana
  • Hingga ke Mpu Prapanca (Negarakertagama – 1365)
  • Dan kemudian Mpu Tantular (Kakawin Sutasoma)
Silsilah ini adalah silsilah ilmu, bukan darah. Para pujangga itu hidup dalam lingkar wiku, lingkungan para bijak dan penulis kakawin kerajaan, tempat di mana ilmu diwariskan dari guru ke murid, dari suara ke syair, dari bait ke batin.

Era Hayam Wuruk dan Gajah Mada: Panggung Emas yang Sarat Gejolak

Zaman Mpu Tantular adalah zaman puncak. Majapahit Raya berdiri gagah dari Sumatera hingga Papua. Hayam Wuruk memimpin sebagai raja muda yang cemerlang. Gajah Mada menapaki janji Sumpah Palapa.

Namun bukan berarti langit selalu cerah. Perang Bubat pecah. Gesekan antaragama mulai terasa. Politik ekspansi kadang menabrak nilai-nilai harmoni. Di tengah situasi itulah Mpu Tantular menulis: menawarkan harmoni saat kerajaan butuh keseimbangan.

Dua Kakawin Agung: Sutasoma dan Arjunawijaya

Kakawin Arjunawijaya

Mengisahkan kepemimpinan luhur Arjuna yang berjuang atas nama dharma. Penuh pesan moral dan spiritual, kakawin ini menggambarkan model pemimpin ideal yang seimbang antara kekuatan dan kebijaksanaan.

Kakawin Sutasoma

Inilah mahakarya paling agungnya. Kisah Pangeran Sutasoma yang menolak kekerasan dan memilih jalur damai menjadi simbol pluralitas Nusantara. Di sinilah semboyan “Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa” pertama kali ditulis. Satu kalimat yang lahir dari kidung, tapi menyatu dalam lambang negara lebih dari enam abad kemudian.

Sumber-sumber Sejarah yang Merekam Jejaknya

Meski sosoknya tak tercatat dalam prasasti, beberapa naskah dan kajian mencatat keberadaan Mpu Tantular:
  • Naskah asli Kakawin Sutasoma, tersimpan di Perpustakaan Nasional dan Universitas Leiden.
  • Negarakertagama karya Mpu Prapanca menyebut eksistensi para mpu dalam lingkaran istana.
Kajian oleh Poerbatjaraka, Zoetmulder, hingga I G. Phalgunadi, yang menelusuri silsilah dan filosofi dalam karya-karyanya.

Akhir Hayat: Sunyi, Namun Terang Abadi

Mpu Tantular menghilang dari catatan setelah karya besarnya rampung. Tidak ada petilasan, tidak ada catatan wafat. Namun warisannya kekal. Ia hidup dalam semboyan. Ia tinggal dalam naskah. Ia hadir di lambang Garuda.

Dari baitnya, bangsa ini belajar bahwa keberagaman bukan masalah, tapi anugerah. Bahwa perbedaan bukan musuh, melainkan kekuatan. Dan bahwa menulis bisa menjadi jalan untuk menyatukan dunia.

RagamJatim.id Mencatat

Ketika bangsa ini meneriakkan “Bhinneka Tunggal Ika”, sejatinya kita sedang menyebut nama Mpu Tantular. Ia adalah suara dari masa silam yang terus bersenandung dalam nadi bangsa. Dari Majapahit untuk Indonesia. Dari kakawin menjadi semboyan. Dari sunyi menjadi abadi.
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar