Samudramanthana dan Pemindahan Mahameru: Mitologi Esensial di Balik Sakralnya Candi-Candi Nusantara
0 menit baca
RagamJatim.id – Di balik kemegahan Candi Borobudur, Prambanan, Penataran hingga Candi Sukuh, tersembunyi satu benang merah kosmologis yang mengakar kuat pada mitologi purba India dan kemudian diserap dalam narasi budaya Nusantara: Samudramanthana dan pemindahan Gunung Mahameru. Dua kisah ini tak hanya menjadi simbol spiritual, tetapi juga fondasi konseptual dalam pembangunan candi-candi agung di Nusantara.
Lebih dari sekadar dongeng dewa-dewi, kisah ini adalah tafsir metafisik yang terekam dalam lontar-lontar kuno Bali, prasasti-prasasti Jawa Kuno, hingga kitab-kitab seperti Tantu Panggelaran, yang menyatu dalam arsitektur dan orientasi bangunan suci di tanah Jawa dan Bali.
Samudramanthana: Saat Dewa dan Asura Mengaduk Lautan Kehidupan
Samudramanthana, atau dikenal sebagai “pengadukan samudra susu,” adalah mitologi utama dalam epos Mahabharata dan Bhagavata Purana, yang kemudian diadaptasi dalam teks Hindu-Jawa. Kisahnya bermula saat para dewa kehilangan kekuatan dan mendekati Dewa Wisnu untuk meminta pertolongan. Sang Wisnu menyarankan para dewa bekerja sama dengan para asura (raksasa) untuk mengaduk Samudra Ksira (samudra susu) demi memperoleh amerta, air kehidupan abadi.
Gunung Mandara dijadikan alat pengaduk, dan Naga Vasuki sebagai tali pemutar. Para dewa memegang bagian ekor naga, sedangkan para asura memegang kepalanya. Ketika pengadukan dilakukan, berbagai hal muncul dari dasar samudra: dari racun mematikan kalakuta yang diminum Siwa, hingga permata, bidadari, dan akhirnya Dhanvantari yang membawa kendi berisi amerta.
Dalam tafsir Jawa Kuno, Samudramanthana bukan hanya kisah tentang amerta, tetapi simbolisasi dari pengolahan energi semesta antara unsur baik dan buruk untuk menciptakan keseimbangan kosmis.
Gunung Mahameru: Poros Jagat yang Dipindahkan ke Nusantara
Kitab Tantu Panggelaran yang berasal dari abad ke-14, merupakan salah satu teks utama yang menarasikan pemindahan Gunung Mahameru dari India ke Jawa oleh para dewa. Dalam kitab ini, Jawa dikisahkan sebagai pulau muda yang terus bergoyang dan belum stabil. Para dewa yang dipimpin oleh Bathara Guru (Siwa) memutuskan untuk memindahkan Gunung Mahameru dari India sebagai pasak bumi guna menstabilkan Jawa.
Gunung Mahameru dipotong-potong agar bisa dibawa oleh para dewa, dan dalam proses pemindahan ini beberapa bagian Mahameru jatuh ke berbagai tempat di Jawa, yang kemudian menjadi gunung-gunung seperti Gunung Wilis, Gunung Penanggungan, dan Gunung Kelud. Puncaknya mendarat dan menjadi Gunung Semeru, yang dipercaya sebagai poros dunia di tanah Jawa.
Arsitektur Candi dan Kosmologi Gunung: Dari Mahameru ke Mandala Nusantara
Candi-candi besar di Nusantara, terutama era Mataram Kuno, dibangun mengikuti struktur kosmologi gunung. Borobudur misalnya, tidak dibangun secara sembarangan. Ia disusun dalam struktur mandala bertingkat yang merepresentasikan perjalanan spiritual dari dunia fana (Kamadhatu) ke alam spiritual tertinggi (Arupadhatu) cerminan dari Gunung Meru sebagai pusat alam semesta.
Hal ini pula yang terjadi pada Candi Prambanan, yang mewakili triloka melalui tiga candi utama: Siwa, Brahma, dan Wisnu. Ketiganya berdiri di tengah sebagai pusat kosmos, dikelilingi candi-candi pengiring seperti planet mengelilingi matahari.
Di Bali, filosofi ini tertanam dalam konsep Tri Mandala dan Kahyangan Tiga, yang semuanya merujuk pada konsep Meru sebagai pusat kehidupan. Bahkan dalam Lontar Rajapurana Lontar, disebutkan bahwa setiap pura utama wajib memiliki pelinggih Meru sebagai simbol Gunung Mahameru tempat para dewa bersemayam.
Prasasti dan Lontar: Jejak Tertulis yang Mengabadikan Mitologi
Tantu Panggelaran (abad ke-14) menjadi sumber utama narasi pemindahan Gunung Mahameru dan filosofi candi.
Prasasti Mantyasih (907 M) menyebutkan pentingnya stabilitas tanah Jawa dan peran spiritualitas dalam pembangunan kerajaan dan tempat suci.
Lontar-lontar Bali, seperti Usana Bali dan Rajapurana, memperkuat peran Gunung Mahameru sebagai pusat spiritualitas dan poros kehidupan dalam keyakinan masyarakat Hindu di Nusantara.
Simbolisasi dan Warisan: Antara Mitos dan Realitas
Samudramanthana dan Mahameru bukan sekadar kisah mitologi; ia adalah filosofi yang hidup. Pemindahan Mahameru menunjukkan bagaimana arsitektur Nusantara tidak sekadar bangunan fisik, tetapi konstruksi spiritual yang memadukan kosmos dengan bumi. Begitu pula Samudramanthana yang menjadi narasi pengolahan jiwa dan pencarian keselarasan.
Di tengah zaman modern, mitologi ini tetap menjadi esensi tak kasatmata dari warisan budaya kita. Candi bukan hanya situs wisata, melainkan mandala kosmis yang menyimpan narasi sakral dan filsafat kehidupan, diwariskan melalui batu, prasasti, dan keheningan yang menjulang tinggi menuju langit.
Penutup
Ketika kita berdiri di kaki Candi Borobudur atau menatap Gunung Semeru dari kejauhan, kita sejatinya sedang menapak kisah purba tentang penciptaan, keseimbangan, dan pencarian abadi akan kesucian. Samudramanthana dan Mahameru adalah dua sisi dari koin yang sama mitologi dan spiritualitas yang membentuk denyut nadi peradaban Nusantara.