Terungkap! Misteri Tanah Perdikan: Warisan Majapahit yang Dulu Bebas Pajak, Kini Jadi Sengketa Tak Bertuan?
0 menit baca
![]() |
Foto : Ilustrasi Ragamjatim.id |
RagamJatim.id – Di balik gemerlap sejarah Majapahit, ternyata tersimpan sebuah sistem sosial-ekonomi yang begitu revolusioner bahkan untuk ukuran zaman modern. Ia dikenal dengan sebutan tanah perdikan; sebidang wilayah yang kala itu dianggap sakral, istimewa, dan... tidak dikenai pajak! Sebuah privilese istimewa dari penguasa kepada para tokoh, tempat suci, maupun komunitas tertentu yang dianggap berjasa atau memiliki kekuatan spiritual dan politik.
Namun kini, banyak dari tanah-tanah itu justru lenyap dari kesadaran publik terserap ke dalam konflik agraria, zona abu-abu kepemilikan, hingga tergusur oleh proyek modernisasi yang tak sempat bertanya pada sejarah.
Apa Itu Tanah Perdikan?
Secara harfiah, “perdikan” berasal dari kata merdika atau merdeka berarti bebas. Dalam konteks kekuasaan Majapahit (1293–1478 M), tanah perdikan adalah wilayah otonom yang dibebaskan dari pajak kerajaan, baik dalam bentuk upeti, tenaga kerja, atau hasil bumi.
Status ini diberikan oleh raja sebagai bentuk penghormatan kepada:
Tokoh spiritual atau pemuka agama, seperti para brahmana, resi, atau pertapa.
Lembaga pendidikan tradisional, semacam mandala atau asrama pertapaan.
Daerah yang berjasa dalam peperangan, seperti tanah pasca-perjuangan para prajurit loyalis kerajaan.
Tanah perdikan biasanya ditegaskan melalui prasasti batu atau tembaga, yang mencatat batas wilayah, nama tokoh penerima hak, dan kutukan bagi siapa pun yang melanggarnya.
Prasasti-prasasti yang Mengungkap Jejaknya
Beberapa prasasti penting yang menjadi saksi sejarah keberadaan tanah perdikan di era Majapahit dan sebelumnya antara lain:
Prasasti Wurare (1289 M): Dikeluarkan oleh Raja Kertanegara dari Singhasari, mencatat pembebasan pajak bagi tanah suci tempat perabuan Mahisa Anabrang.
Prasasti Sukamerta (1296 M): Dikeluarkan oleh Raden Wijaya, memberikan hak perdikan pada sebuah mandala pertapaan di wilayah Lumajang.
Prasasti Trailokyapuri: Menyebut pembebasan lahan pertanian di sekitar candi bagi para penjaga tempat suci.
Prasasti Ngantang (1351 M): Dicatat oleh Hayam Wuruk, memberikan hak perdikan kepada daerah yang membantu perjuangan militer.
Beberapa dari prasasti tersebut kini disimpan di Museum Nasional, sedangkan sebagian lagi hilang atau tercecer di luar negeri.
Tanah Perdikan di Jawa Timur: Jejak yang Nyata tapi Terlupakan
Jawa Timur merupakan wilayah dengan konsentrasi tanah perdikan terbanyak di Nusantara. Beberapa daerah yang diyakini dulunya berstatus perdikan antara lain:
Wilayah Keterangan Historis
Kedungmaling (Mojokerto) Diduga tanah perdikan bagi keturunan Brahmana dari masa Airlangga
Trowulan (Mojokerto) Pusat Majapahit, banyak mandala dan padepokan di sekitarnya berstatus bebas pajak Wlingi (Blitar) Konon merupakan tanah persembahan untuk para pertapa di lereng Gunung Kelud
Sukosewu (Bojonegoro) Disebut dalam tradisi lisan sebagai tanah para leluhur pendeta Majapahit
Panataran (Blitar) Kawasan candi suci yang kemungkinan memiliki status perdikan permanen
Sayangnya, banyak dari status itu kini tak diakui secara hukum modern. Warga hanya menyimpan fragmen ingatan, dalam bentuk legenda lokal atau tradisi lisan.
Secara harfiah, “perdikan” berasal dari kata merdika atau merdeka berarti bebas. Dalam konteks kekuasaan Majapahit (1293–1478 M), tanah perdikan adalah wilayah otonom yang dibebaskan dari pajak kerajaan, baik dalam bentuk upeti, tenaga kerja, atau hasil bumi.
Status ini diberikan oleh raja sebagai bentuk penghormatan kepada:
Tokoh spiritual atau pemuka agama, seperti para brahmana, resi, atau pertapa.
Lembaga pendidikan tradisional, semacam mandala atau asrama pertapaan.
Daerah yang berjasa dalam peperangan, seperti tanah pasca-perjuangan para prajurit loyalis kerajaan.
Tanah perdikan biasanya ditegaskan melalui prasasti batu atau tembaga, yang mencatat batas wilayah, nama tokoh penerima hak, dan kutukan bagi siapa pun yang melanggarnya.
Prasasti-prasasti yang Mengungkap Jejaknya
Beberapa prasasti penting yang menjadi saksi sejarah keberadaan tanah perdikan di era Majapahit dan sebelumnya antara lain:
Prasasti Wurare (1289 M): Dikeluarkan oleh Raja Kertanegara dari Singhasari, mencatat pembebasan pajak bagi tanah suci tempat perabuan Mahisa Anabrang.
Prasasti Sukamerta (1296 M): Dikeluarkan oleh Raden Wijaya, memberikan hak perdikan pada sebuah mandala pertapaan di wilayah Lumajang.
Prasasti Trailokyapuri: Menyebut pembebasan lahan pertanian di sekitar candi bagi para penjaga tempat suci.
Prasasti Ngantang (1351 M): Dicatat oleh Hayam Wuruk, memberikan hak perdikan kepada daerah yang membantu perjuangan militer.
Beberapa dari prasasti tersebut kini disimpan di Museum Nasional, sedangkan sebagian lagi hilang atau tercecer di luar negeri.
Tanah Perdikan di Jawa Timur: Jejak yang Nyata tapi Terlupakan
Jawa Timur merupakan wilayah dengan konsentrasi tanah perdikan terbanyak di Nusantara. Beberapa daerah yang diyakini dulunya berstatus perdikan antara lain:
Wilayah Keterangan Historis
Kedungmaling (Mojokerto) Diduga tanah perdikan bagi keturunan Brahmana dari masa Airlangga
Trowulan (Mojokerto) Pusat Majapahit, banyak mandala dan padepokan di sekitarnya berstatus bebas pajak Wlingi (Blitar) Konon merupakan tanah persembahan untuk para pertapa di lereng Gunung Kelud
Sukosewu (Bojonegoro) Disebut dalam tradisi lisan sebagai tanah para leluhur pendeta Majapahit
Panataran (Blitar) Kawasan candi suci yang kemungkinan memiliki status perdikan permanen
Sayangnya, banyak dari status itu kini tak diakui secara hukum modern. Warga hanya menyimpan fragmen ingatan, dalam bentuk legenda lokal atau tradisi lisan.
Dari Privilese ke Sengketa: Ke Mana Hilangnya Tanah Perdikan?
Dalam era kolonial, tanah perdikan mulai kehilangan otoritasnya. Pemerintah Hindia Belanda menghapus banyak status “tanah bebas pajak” demi memudahkan kontrol dan eksploitasi. Bahkan banyak prasasti-prasasti yang menjelaskan batas tanah ini dicongkel dan diboyong ke Batavia atau Belanda.
Di era pasca-kemerdekaan, status hukum tanah perdikan makin kabur. UU Pokok Agraria 1960 tidak secara eksplisit mengatur tanah semacam ini. Akibatnya:
Banyak tanah adat atau suci diklaim sebagai tanah negara.
Muncul konflik antara komunitas lokal dan pemerintah atau pengembang.
Warisan sejarah jadi rentan hilang dalam proyek industrialisasi dan jalan tol.
Upaya Revitalisasi: Masih Adakah Harapan?
Beberapa komunitas lokal kini mulai menggali ulang jejak tanah perdikan sebagai bagian dari identitas budaya dan sejarah mereka. Misalnya:
Riset Arkeologi Universitas Udayana & Universitas Indonesia di Mojokerto dan Blitar tentang batas-batas perdikan kuno.
Gerakan masyarakat adat yang mengajukan klaim restorasi tanah suci berbasis prasasti dan serat lokal.
Museum dan lembaga kebudayaan yang mendokumentasikan ulang peta perdikan.
Namun tanpa pengakuan legal, semua itu hanya bersandar pada semangat sejarah dan spiritualitas.
Penutup: Ketika Masa Lalu Menuntut Didengar
Tanah perdikan bukan hanya cerita tentang bebas pajak di masa lalu. Ia adalah cermin dari peradaban yang menghormati jasa, spiritualitas, dan otonomi komunitas. Di saat hari ini kita terjebak dalam sengketa agraria, monopoli tanah, dan eksploitasi alam, barangkali warisan Majapahit ini memberi kita pelajaran: bahwa keadilan sosial pernah hidup… bahkan di zaman batu.
Kini tinggal pertanyaannya: Beranikah kita mendengarkan bisikan tanah-tanah yang telah dilupakan itu?
Dalam era kolonial, tanah perdikan mulai kehilangan otoritasnya. Pemerintah Hindia Belanda menghapus banyak status “tanah bebas pajak” demi memudahkan kontrol dan eksploitasi. Bahkan banyak prasasti-prasasti yang menjelaskan batas tanah ini dicongkel dan diboyong ke Batavia atau Belanda.
Di era pasca-kemerdekaan, status hukum tanah perdikan makin kabur. UU Pokok Agraria 1960 tidak secara eksplisit mengatur tanah semacam ini. Akibatnya:
Banyak tanah adat atau suci diklaim sebagai tanah negara.
Muncul konflik antara komunitas lokal dan pemerintah atau pengembang.
Warisan sejarah jadi rentan hilang dalam proyek industrialisasi dan jalan tol.
Upaya Revitalisasi: Masih Adakah Harapan?
Beberapa komunitas lokal kini mulai menggali ulang jejak tanah perdikan sebagai bagian dari identitas budaya dan sejarah mereka. Misalnya:
Riset Arkeologi Universitas Udayana & Universitas Indonesia di Mojokerto dan Blitar tentang batas-batas perdikan kuno.
Gerakan masyarakat adat yang mengajukan klaim restorasi tanah suci berbasis prasasti dan serat lokal.
Museum dan lembaga kebudayaan yang mendokumentasikan ulang peta perdikan.
Namun tanpa pengakuan legal, semua itu hanya bersandar pada semangat sejarah dan spiritualitas.
Penutup: Ketika Masa Lalu Menuntut Didengar
Tanah perdikan bukan hanya cerita tentang bebas pajak di masa lalu. Ia adalah cermin dari peradaban yang menghormati jasa, spiritualitas, dan otonomi komunitas. Di saat hari ini kita terjebak dalam sengketa agraria, monopoli tanah, dan eksploitasi alam, barangkali warisan Majapahit ini memberi kita pelajaran: bahwa keadilan sosial pernah hidup… bahkan di zaman batu.
Kini tinggal pertanyaannya: Beranikah kita mendengarkan bisikan tanah-tanah yang telah dilupakan itu?