Kaliklatak: Jejak Sunyi Kolonial di Lereng Banyuwangi yang Belum Lekang Waktu
0 menit baca
Banyuwangi, RagamJatim.id – Di balik rimbun pepohonan dan jalur terjal Gunung Merapi-Meranu, berdiri satu kawasan yang nyaris tak bergeming oleh zaman. Ia bukan kota, bukan pula sekadar dusun. Namanya Kaliklatak sebuah desa tua yang menyimpan jejak kolonialisme Belanda secara utuh, bukan hanya dalam bangunan, tetapi juga dalam lanskap budaya, kerja, dan cerita rakyat.
Kaliklatak bukan sekadar titik di peta Banyuwangi. Ia adalah kanvas sejarah hidup, tempat di mana pertemuan antara tanah lokal dan ambisi kolonial menghasilkan lanskap perkebunan raksasa yang bertahan lebih dari satu abad.
Sejarah Kaliklatak: Dari Lahan Liar Menjadi Perkebunan Kolonial
Kaliklatak mulai ditata sebagai kawasan perkebunan pada awal abad ke-20, tepatnya sekitar tahun 1911, saat perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda mulai ekspansi ke wilayah timur Pulau Jawa. Kawasan yang dulunya hanya berupa hutan dan ladang berpindah milik masyarakat Osing ini kemudian disulap menjadi kawasan produksi rempah, kopi, dan kakao oleh tangan-tangan kolonial.
Pada masa itu, tanah-tanah produktif diambil alih melalui skema sewa panjang (erfpacht) oleh pengusaha Belanda, dan warga lokal dijadikan buruh tetap atau harian. Kaliklatak pun berkembang menjadi perkebunan berarsitektur kolonial lengkap dengan rumah dinas administratur, gudang kopi, hingga rel pengangkut hasil bumi.
Kaliklatak Hari Ini: Hidup Sebagai Situs Kolonial Terbuka
Kini, Kaliklatak menjadi kawasan yang dikenal sebagai Perkebunan Kaliklatak, dikelola oleh entitas swasta nasional. Meski berganti tangan, bentuk fisik dan arsitektur kolonialnya tetap terjaga: rumah bergaya Indische, gudang rempah berpintu kayu tebal, hingga jalur inspeksi yang masih dilalui pejalan kaki maupun kendaraan hasil modifikasi dari zaman Belanda.
Perkebunan ini membentang seluas lebih dari 1.000 hektare, ditanami berbagai komoditas ekspor unggulan seperti:
- Kopi Robusta & Arabika
- Kakao dan Lada
- Kelapa dan Cengkeh
- Tanaman penghasil bioenergi seperti Kaliandra
Wisata Edukasi: Jejak Kolonial yang Jadi Tempat Belajar
Sejak 2010, Kaliklatak membuka diri sebagai lokasi wisata edukasi sejarah dan agroforestry. Turis dan pelajar bisa menjelajahi rute “Heritage Plantation Tour”, mengikuti jejak perkebunan ala kolonial dari hulu ke hilir.
Selain itu, kawasan ini kerap dijadikan lokasi:
- Camping edukatif dan outbond pelajar
- Pelatihan pertanian organik
- Studi konservasi tanah dan air
- Wisata sejarah dan fotografi arsitektur kolonial
Letak dan Lanskap: Strategis namun Tersembunyi
Kaliklatak berada di wilayah Desa Kalipuro, sekitar 15 km dari pusat kota Banyuwangi, di ketinggian antara 450–850 mdpl. Udara di kawasan ini sejuk dengan suhu berkisar 18–25°C, menjadikannya ideal untuk tanaman tropis dan sub-tropis.
Jalur menuju Kaliklatak menanjak tajam, melewati hutan jati dan pinus, sebelum tiba di area kebun yang terbuka. Dari ketinggian, pengunjung bisa menyaksikan panorama Teluk Banyuwangi hingga Selat Bali.
Warisan Sosial: Antara Rasa Bangga dan Luka yang Mengendap
Meski Kaliklatak hari ini menjadi contoh sukses pertanian berkelanjutan, masyarakat Osing masih menyimpan cerita kelam masa silam tentang kerja paksa, penggusuran tanah adat, hingga stratifikasi sosial yang menempatkan warga lokal sebagai “jongos” di tanah kelahiran mereka sendiri.
Namun kini, narasi itu mulai diubah. Generasi muda Osing yang bekerja di perkebunan atau di sektor wisata Kaliklatak justru mengambil kembali peran sebagai penjaga warisan, bukan sekadar pekerja.
“Kami jaga bukan karena ini peninggalan Belanda, tapi karena ini bagian dari identitas Banyuwangi yang panjang,” ungkap Sulastri (34), pemandu lokal yang juga keturunan buruh perkebunan generasi ketiga.
Kesimpulan: Kaliklatak, Warisan yang Tak Lekang Zaman
Kaliklatak bukan sekadar sisa masa lalu, melainkan sumbu sejarah yang terus menyala di antara kerindangan dan sunyi. Ia menyimpan cerita tentang kolonialisme, tentang tanah yang dibajak dan keringat yang tertumpah tetapi juga tentang adaptasi, pemulihan, dan kebanggaan baru dari generasi muda.
Jika dirawat dengan bijak, Kaliklatak bisa menjadi pusat edukasi kolonialisme yang autentik, tanpa glorifikasi, namun juga tanpa trauma yang terus membekas. Banyuwangi tak hanya menyimpan pantai dan festival. Di Kaliklatak, ia menyimpan luka yang diawetkan menjadi pelajaran berharga.