Fenomena ‘Anak Sumbu Pendek’ Generasi Baru atau Cerminan Kegagalan Sosial?
0 menit baca
Oleh Redaksi RagamJatim.id
Ketika Emosi Meledak Lebih Cepat dari Kata-Kata Di zaman serba cepat dan serba daring ini, kita semakin akrab dengan istilah baru yang muncul dari percakapan media sosial dan keresahan kolektif masyarakat salah satunya: "Anak Sumbu Pendek". Sebuah frasa yang kini menjadi cap baru bagi generasi muda yang dianggap mudah tersinggung, cepat marah, dan minim toleransi terhadap perbedaan pendapat.
Namun benarkah generasi ini lebih “mudah meledak” daripada generasi sebelumnya? Ataukah fenomena ini justru mengungkap sisi lain dari sistem sosial, pendidikan, dan pola komunikasi yang perlahan kehilangan kedalaman?
Mari kita telusuri lebih dalam, lebih jernih, dan tanpa prasangka.
Apa Itu 'Anak Sumbu Pendek'?
Secara harfiah, istilah ini merujuk pada anak-anak muda (terutama Gen Z atau akhir Milenial) yang mudah tersulut emosi. Namun dalam realitasnya, label ini tak sekadar soal emosi, tetapi juga menggambarkan generasi yang merasa tidak didengar, tidak dihargai, dan hidup dalam tekanan yang kerap dianggap sepele oleh generasi di atasnya.
Istilah ini mencuat di berbagai platform media sosial sebagai bentuk sindiran kadang bercanda, kadang serius terhadap perilaku yang dianggap “baperan”, “sensitif berlebihan”, hingga “anti kritik”.
Di Balik Emosi: Ada Luka Kolektif yang Tak Terucap
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial dan budaya yang membentuk generasi hari ini:
1. Tekanan Hidup di Era Modern
Harga rumah melambung, biaya pendidikan tak terjangkau, tuntutan kesuksesan datang dari semua arah sementara ruang untuk gagal hampir nihil. Generasi muda tumbuh dalam kondisi psikis yang rapuh, namun dituntut tampil kuat setiap waktu.
2. Kehilangan Ruang Aman untuk Menyuarakan Diri
Diskusi publik sering kali penuh hujatan. Di dunia nyata, mereka dianggap "anak bau kencur", di dunia maya di-bully bila salah sedikit. Maka tak heran bila respons emosi menjadi cara bertahan: ledakan adalah sinyal permintaan tolong.
3. Polarisasi dan Fragmentasi Sosial
Budaya saling menyalahkan, politik identitas, dan algoritma media sosial menciptakan ruang gema (echo chamber) yang menutup ruang dialog. Ketika perbedaan tidak diberi tempat, yang lahir adalah kemarahan diam-diam.
Generasi Baru: Lemah Mental atau Lebih Sadar Emosi?
Alih-alih menghakimi, mari coba melihat dari sisi lain: mungkin yang disebut “sumbu pendek” ini justru bentuk kepekaan baru terhadap ketidakadilan, tekanan batin, atau respons terhadap dunia yang makin keras.
Berbeda dengan generasi sebelumnya yang diajarkan “diam, sabar, dan tahan banting”, generasi sekarang memilih untuk mengungkap luka, menangis di ruang publik, dan meminta ruang untuk sembuh. Apakah itu buruk? Tidak selalu.
Generasi ini:
Menurut Dr. Andhika Prawira, M.Psi, psikolog perkembangan, fenomena “anak sumbu pendek” tidak bisa dilepaskan dari model parenting, sistem pendidikan, dan krisis empati antar generasi.
“Kita terlalu sibuk menuntut mereka menjadi ‘tangguh’, tapi lupa bahwa ketangguhan dibentuk oleh proses yang suportif, bukan cemoohan.”
Anak yang tumbuh dengan kasih sayang terbatas, ruang berekspresi yang sempit, dan kebiasaan dikritik tanpa empati, cenderung menyimpan mekanisme pertahanan dalam bentuk kemarahan.
Peran Media dan Komunitas: Menjembatani Bukan Memojokkan
Labelisasi seperti “sumbu pendek” sering kali memperparah stigma. Media seharusnya berperan sebagai penyambung suara lintas generasi, bukan kompor yang memperlebar jurang pemahaman.
Sementara komunitas dan sekolah bisa menjadi oase:
Di tengah dunia yang tak lagi memberi ruang bagi kelembutan, emosi yang meledak bukan tanda kelemahan, tetapi mungkin… jeritan yang terlalu lama tertahan.
Fenomena “anak sumbu pendek” bukan sekadar tren perilaku, tapi alarm sosial: bahwa kita sedang mencetak generasi yang tumbuh dalam dunia penuh tekanan namun miskin pelukan.
Sebelum buru-buru menyalahkan mereka, mari kita bertanya: apa yang sudah kita bangun sebagai rumah, sebagai sekolah, sebagai bangsa?
Penutup: Dalam Hening, Sumbu Itu Sebenarnya Tak Pendek Ia hanya menunggu untuk dimengerti, disulut dengan kasih, bukan amarah. Karena generasi tidak diciptakan oleh waktu semata, Tapi oleh lingkungan yang memilih: mendengar atau membungkam.
Ketika Emosi Meledak Lebih Cepat dari Kata-Kata Di zaman serba cepat dan serba daring ini, kita semakin akrab dengan istilah baru yang muncul dari percakapan media sosial dan keresahan kolektif masyarakat salah satunya: "Anak Sumbu Pendek". Sebuah frasa yang kini menjadi cap baru bagi generasi muda yang dianggap mudah tersinggung, cepat marah, dan minim toleransi terhadap perbedaan pendapat.
Namun benarkah generasi ini lebih “mudah meledak” daripada generasi sebelumnya? Ataukah fenomena ini justru mengungkap sisi lain dari sistem sosial, pendidikan, dan pola komunikasi yang perlahan kehilangan kedalaman?
Mari kita telusuri lebih dalam, lebih jernih, dan tanpa prasangka.
Apa Itu 'Anak Sumbu Pendek'?
Secara harfiah, istilah ini merujuk pada anak-anak muda (terutama Gen Z atau akhir Milenial) yang mudah tersulut emosi. Namun dalam realitasnya, label ini tak sekadar soal emosi, tetapi juga menggambarkan generasi yang merasa tidak didengar, tidak dihargai, dan hidup dalam tekanan yang kerap dianggap sepele oleh generasi di atasnya.
Istilah ini mencuat di berbagai platform media sosial sebagai bentuk sindiran kadang bercanda, kadang serius terhadap perilaku yang dianggap “baperan”, “sensitif berlebihan”, hingga “anti kritik”.
Di Balik Emosi: Ada Luka Kolektif yang Tak Terucap
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial dan budaya yang membentuk generasi hari ini:
1. Tekanan Hidup di Era Modern
Harga rumah melambung, biaya pendidikan tak terjangkau, tuntutan kesuksesan datang dari semua arah sementara ruang untuk gagal hampir nihil. Generasi muda tumbuh dalam kondisi psikis yang rapuh, namun dituntut tampil kuat setiap waktu.
2. Kehilangan Ruang Aman untuk Menyuarakan Diri
Diskusi publik sering kali penuh hujatan. Di dunia nyata, mereka dianggap "anak bau kencur", di dunia maya di-bully bila salah sedikit. Maka tak heran bila respons emosi menjadi cara bertahan: ledakan adalah sinyal permintaan tolong.
3. Polarisasi dan Fragmentasi Sosial
Budaya saling menyalahkan, politik identitas, dan algoritma media sosial menciptakan ruang gema (echo chamber) yang menutup ruang dialog. Ketika perbedaan tidak diberi tempat, yang lahir adalah kemarahan diam-diam.
Generasi Baru: Lemah Mental atau Lebih Sadar Emosi?
Alih-alih menghakimi, mari coba melihat dari sisi lain: mungkin yang disebut “sumbu pendek” ini justru bentuk kepekaan baru terhadap ketidakadilan, tekanan batin, atau respons terhadap dunia yang makin keras.
Berbeda dengan generasi sebelumnya yang diajarkan “diam, sabar, dan tahan banting”, generasi sekarang memilih untuk mengungkap luka, menangis di ruang publik, dan meminta ruang untuk sembuh. Apakah itu buruk? Tidak selalu.
Generasi ini:
- Lebih vokal tentang kesehatan mental.
- Berani menolak sistem yang toksik.
- Mendambakan komunikasi dua arah, bukan sekadar nasihat satu arah.
Menurut Dr. Andhika Prawira, M.Psi, psikolog perkembangan, fenomena “anak sumbu pendek” tidak bisa dilepaskan dari model parenting, sistem pendidikan, dan krisis empati antar generasi.
“Kita terlalu sibuk menuntut mereka menjadi ‘tangguh’, tapi lupa bahwa ketangguhan dibentuk oleh proses yang suportif, bukan cemoohan.”
Anak yang tumbuh dengan kasih sayang terbatas, ruang berekspresi yang sempit, dan kebiasaan dikritik tanpa empati, cenderung menyimpan mekanisme pertahanan dalam bentuk kemarahan.
Peran Media dan Komunitas: Menjembatani Bukan Memojokkan
Labelisasi seperti “sumbu pendek” sering kali memperparah stigma. Media seharusnya berperan sebagai penyambung suara lintas generasi, bukan kompor yang memperlebar jurang pemahaman.
Sementara komunitas dan sekolah bisa menjadi oase:
- Membuka ruang dialog antar generasi.
- Mengajarkan literasi emosi dan keterampilan resolusi konflik.
- Menghindari cap atau label tanpa memahami konteksnya.
Di tengah dunia yang tak lagi memberi ruang bagi kelembutan, emosi yang meledak bukan tanda kelemahan, tetapi mungkin… jeritan yang terlalu lama tertahan.
Fenomena “anak sumbu pendek” bukan sekadar tren perilaku, tapi alarm sosial: bahwa kita sedang mencetak generasi yang tumbuh dalam dunia penuh tekanan namun miskin pelukan.
Sebelum buru-buru menyalahkan mereka, mari kita bertanya: apa yang sudah kita bangun sebagai rumah, sebagai sekolah, sebagai bangsa?
Penutup: Dalam Hening, Sumbu Itu Sebenarnya Tak Pendek Ia hanya menunggu untuk dimengerti, disulut dengan kasih, bukan amarah. Karena generasi tidak diciptakan oleh waktu semata, Tapi oleh lingkungan yang memilih: mendengar atau membungkam.