Riak Budaya di Tengah Arus Serumpun: Ketika Pacu Jalur Diakui Malaysia?
0 menit baca
RagamJatim.id – Satu lagi riak mengusik tenang aliran Sungai Kuantan. Bukan karena arus deras atau perahu melaju, melainkan oleh polemik budaya yang kembali memanaskan hubungan dua negeri serumpun: Indonesia dan Malaysia. Isunya: “Pacu Jalur” warisan budaya masyarakat Riau diklaim sebagai bagian dari kekayaan budaya Malaysia.
Kabar ini sontak mengundang gelombang reaksi dari warganet hingga tokoh budaya. Warganet Indonesia menyuarakan keresahannya, sementara kalangan budayawan menyebut ini sebagai bentuk “pencatutan naratif” atas budaya yang secara historis dan antropologis berakar kuat di bumi Melayu Riau.
Mengenal Pacu Jalur: Balapan Perahu, Jiwa Komunal
Pacu Jalur bukan sekadar lomba dayung. Ia adalah denyut nadi tradisi, pesta rakyat, dan ekspresi budaya komunal masyarakat Kuantan Singingi yang sudah berlangsung sejak abad ke-17. Perahu panjang yang bisa diisi puluhan orang itu menjadi simbol kekompakan, sportivitas, dan kebanggaan daerah.
Biasanya digelar setiap Agustus, Pacu Jalur bukan hanya ajang olahraga air, tetapi juga bagian dari ritual adat dan penghormatan terhadap Sungai Kuantan, yang sejak dulu menjadi urat nadi kehidupan masyarakat.
“Ini bukan hanya soal lomba, ini tentang warisan,” ungkap salah satu tokoh adat Kenegerian Kari, Kuantan Singingi, kepada RagamJatim.id. “Pacu Jalur adalah identitas.”
Malaysia dan ‘Warisan Budaya Milik Siapa?’
Isu bermula dari beredarnya unggahan di media sosial dan sejumlah forum daring Malaysia yang menyebut “Festival Perahu Tradisional” sebagai budaya lokal yang serupa dengan Pacu Jalur. Tak hanya itu, dalam beberapa dokumentasi kegiatan kebudayaan di negara bagian tertentu seperti Perlis dan Kedah, atribut serta nama kegiatan disebut sangat menyerupai dengan Pacu Jalur baik dari bentuk perahu, jumlah pendayung, hingga penataan ritual pembukaannya.
Hal ini kemudian memunculkan kecurigaan adanya klaim sepihak atau setidaknya “pencatutan budaya” tanpa menyebut asal-usul tradisi yang sebenarnya.
Respons Pemerintah dan Budayawan Indonesia
Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI melalui pernyataan tertulis menegaskan bahwa Pacu Jalur telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia sejak 2014. Penetapan ini memperkuat legalitas budaya tersebut secara nasional dan internasional.
“Kita tidak anti keragaman lintas batas. Tapi kita menolak klaim budaya tanpa dasar sejarah dan tanpa etika penghormatan antar bangsa,” ujar salah satu pejabat Kemendikbud kepada RagamJatim.id.
Di sisi lain, budayawan dari Universitas Riau menilai fenomena ini sebagai gejala ‘glokalitas budaya’ di mana akar budaya serumpun rentan ditarik ke dalam klaim nasionalisme sempit oleh negara-negara yang memiliki sejarah dan etnisitas bersilangan.
Bukan Kali Pertama: Pola Lama, Masalah Baru
Persoalan klaim budaya bukan cerita baru antara Indonesia dan Malaysia. Dari Reog Ponorogo, Batik, Rendang, Tari Pendet, hingga Angklung, semuanya pernah jadi bagian dari kontroversi serupa.
Namun yang membedakan kini adalah respons publik yang lebih cepat, massif, dan terkadang emosional. Era digital membawa narasi menjadi senjata, dan viralitas menjadi pengadilan baru.
Menjaga Warisan: Bukan Hanya Soal Klaim, Tapi Juga Dokumentasi
Di tengah panasnya polemik, muncul juga introspeksi: apakah kita sudah cukup mendokumentasikan budaya sendiri? Sudahkah semua warisan leluhur tercatat, didaftarkan, dan dijaga bukan hanya secara simbolik, tapi juga secara legal dan digital?
Inilah saatnya pemerintah daerah, pelaku budaya, dan komunitas lokal bekerja sama mengarsipkan setiap ekspresi budaya tradisional kita. Warisan bukan untuk dibanggakan semata, tapi untuk dijaga dari lupa dan dijarah.
Kesimpulan: Serumpun Tapi Tak Serampangan
Dalam akar sejarah, Indonesia dan Malaysia adalah saudara tua dalam rumpun Melayu. Namun kekerabatan tidak boleh dijadikan alasan pembenaran atas tindakan klaim budaya tanpa etika dan legitimasi.
Pacu Jalur adalah milik masyarakat Riau. Jika serupa kegiatan muncul di wilayah lain, maka harus diakui sebagai hasil migrasi budaya bukan klaim penciptaan baru. Menghormati budaya sesama bangsa serumpun justru menjadi bentuk kedewasaan dalam peradaban.
Mari jaga warisan ini dengan bijak, bukan hanya dengan kemarahan, tapi dengan pengakuan yang berbasis sejarah dan penghormatan.