Tuyul dalam Budaya Jawa: Antara Mitos Pesugihan dan Cermin Kegelisahan Sosial
0 menit baca
RagamJatim.id – Di balik gemerlap modernitas dan derasnya teknologi finansial, masyarakat Jawa masih menyimpan cerita yang tak lekang oleh waktu: tuyul. Sosok kecil, bertubuh bocah, namun konon mampu "menyedot" uang milik orang lain secara gaib. Mitos ini tidak sekadar legenda, tapi juga refleksi sosial atas realitas ekonomi dan spiritual masyarakat Nusantara, khususnya di wilayah pedesaan.
Apa Itu Tuyul?
Dalam kepercayaan rakyat Jawa, tuyul dipercaya sebagai makhluk halus berwujud anak kecil yang bisa “dipelihara” untuk membantu memperkaya tuannya. Biasanya, tuyul digambarkan bertelanjang, berkepala plontos, dan suka bermain layaknya bocah namun memiliki kemampuan mencuri uang atau barang berharga atas perintah majikannya.
Asal-Usul Kepercayaan: Antara Mitologi dan Pesugihan
Konsep tuyul erat kaitannya dengan praktik pesugihan, yaitu jalan mistik untuk mencari kekayaan dengan bantuan makhluk halus. Dalam Serat Centhini maupun tuturan lisan dari masa Demak hingga Mataram Islam, tuyul sering muncul sebagai bagian dari dunia ngalap berkah lewat jalan menyimpang.
Biasanya “ternak tuyul” dikisahkan dilakukan dengan berbagai ritual:
- Memanggil makhluk halus lewat jampi-jampi dan sesaji
- Merawat tuyul di wadah tertentu (seperti kendi, tempayan, atau boneka)
- Memberi “mainan” atau sesajen seperti kembang tujuh rupa, uang logam, dan minyak misik
Pandangan Agama dan Hukum
Dalam pandangan agama (Islam, Kristen, Hindu, dan lainnya), memelihara tuyul tergolong syirik — mempersekutukan Tuhan dengan makhluk gaib. Dari sisi hukum negara, praktik seperti itu bisa dikategorikan sebagai penipuan, penggelapan, atau bahkan pengaruh psikis negatif yang mengganggu ketertiban umum.
Banyak tokoh agama dan budaya mengingatkan bahwa mempercayai hal-hal semacam itu secara membabi buta justru mengerdilkan logika dan akhlak.
Simbol dan Makna Sosial Tuyul
Menariknya, tuyul juga bisa dibaca sebagai simbol perlawanan diam dari masyarakat kecil terhadap tekanan ekonomi.
“Cerita tuyul lahir dari kondisi sosial yang timpang. Ketika rakyat miskin melihat segelintir orang mendadak kaya tanpa sebab yang jelas, muncullah narasi tuyul sebagai penjelasan alternatif," kata Dr. Retno Sri Lestari, antropolog Universitas Negeri Surabaya.
Dengan kata lain, tuyul adalah produk dari kegelisahan, bukan sekadar kisah gaib.
Edukasi Masyarakat: Antara Mitos dan Realitas
Penting bagi generasi muda untuk memahami bahwa cerita tentang tuyul tidak untuk ditakuti, apalagi ditiru. Justru dari mitos seperti ini kita bisa belajar:
- Pentingnya kritis terhadap hal yang irasional
- Pentingnya transparansi ekonomi dan keadilan sosial
- Bagaimana budaya lisan menyampaikan kritik sosial secara halus
Di tengah era digital dan artificial intelligence, tuyul menjadi pengingat bahwa kita masih punya PR besar dalam membangun ekonomi yang adil dan edukasi spiritual yang kuat. Masyarakat boleh mempercayai mitos, tapi jangan sampai kehilangan akal sehat.
Karena pada akhirnya, kekayaan yang berkah tak datang dari dunia gaib, tapi dari kerja keras, etos jujur, dan doa yang tulus.