Pasar Lawas Tempeh Tengah Hidupkan Kuliner Tradisi
Lumajang, Ragamjatim.id - Lupis berlumur gula merah, cenil berwarna-warni, hingga segelas dawet segar, semua hadir menyapa indera. Begitu pengunjung melangkah ke Pasar Lawas Tempeh Tengah, mereka seakan dibawa kembali ke dapur-dapur nenek moyang yang menghidupi bangsa.
Bazar kuliner nusantara ini digelar pada 16–17 Agustus 2025 lalu, menjadi pusat perhatian dalam perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia. 7 stand bambu dari pedukuhan di Desa Tempeh Tengah berdiri kokoh, menghadirkan cita rasa tradisional dari berbagai daerah. Di sinilah kemerdekaan dirayakan, bukan hanya lewat upacara, tapi lewat rasa yang membentuk identitas.
Kuliner tradisional bukan sekadar makanan. Ia adalah simbol memori kolektif. Awuk-awuk yang sederhana menyimpan kisah tentang perayaan desa, dawet bercerita tentang pelipur dahaga petani, sementara jamu mengajarkan filosofi hidup yang sehat dan seimbang.
Kepala Desa Tempeh Tengah, Mansursyah, menekankan pentingnya warisan rasa ini. “Kalau kita bicara nasionalisme, jangan hanya lihat bendera. Lihat juga makanan kita. Dari situlah identitas kita terbentuk, dari dapur yang melahirkan kebersamaan,” ujarnya saat dikonfirmasi, Kamis (21/8/2025).
Setiap stand di Pasar Lawas bukan hanya tempat transaksi, tapi panggung narasi budaya. Endah Mei Rini (45), penjual lupis, merasa dagangannya adalah cara menjaga memori bangsa. “Ketika orang bilang rasanya sama dengan dulu, saya merasa ikut menjaga sejarah,” katanya.
Generasi muda juga tak ketinggalan. Vindy Yurike (25) menjual dawet dengan semangat baru. “Kuliner tradisi bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk diperjuangkan. Saya ingin anak-anak muda bangga menghidangkan makanan dari leluhur mereka,” ucapnya penuh keyakinan.
Pengunjung merasakan hal yang sama. Mirza Harnum (27) menilai awuk-awuk lebih dari sekadar camilan. “Rasanya membuat saya pulang ke rumah nenek. Makanan ini menyatukan generasi, dari masa lalu hingga sekarang,” katanya dengan mata berkaca.
Anif Setiani (56) meneguk jamu dengan penuh makna. “Ini bukan hanya minuman, tapi filosofi hidup. Kita diajarkan untuk sederhana, kuat, dan dekat dengan alam. Kalau jamu hilang, kita kehilangan bagian penting dari identitas bangsa,” ungkapnya.
Saat Dinas Pariwisata melakukan penjurian stand, warga tak hanya menampilkan seni bantengan, tarian, atau pencak silat. Lebih dari itu, mereka menyajikan filosofi hidup, bahwa kuliner tradisi adalah warisan sekaligus modal masa depan.
Di sela-sela acara, anak-anak dikenalkan dengan cenil dan lupis. Orang tua menceritakan asal-usul makanan itu, menyelipkan nilai gotong royong, syukur, dan cinta tanah air. Edukasi hadir lewat rasa, lebih membekas daripada sekadar teori.
Pasar Lawas juga membuka ruang pemberdayaan. Warga belajar mengelola stand, meracik menu, melayani pembeli, hingga menghitung keuntungan. Ekonomi tumbuh, tapi lebih dari itu, rasa percaya diri sebagai pewaris budaya ikut terbangun.
Hari pertama ditutup dengan sholawatan, sementara hari kedua menampilkan jalan unik dan pentas seni. Meski kegiatan beragam, kuliner tetap menjadi pusat gravitasi yang menyatukan. Semua orang kembali ke stand, kembali mencicipi, kembali bercerita.
Lampu minyak yang dinyalakan malam hari menambah suasana nostalgia. Tapi di balik romantisme itu, ada pesan kuat: kuliner bukan hanya masa lalu, melainkan kunci masa depan. Ia bisa menjadi potensi wisata, kekuatan ekonomi, sekaligus sarana pendidikan karakter.
Mansursyah menyebut Pasar Lawas sebagai ruang lahirnya nasionalisme keseharian. “Upacara penting, tapi rasa juga penting. Kalau setiap keluarga bangga menyajikan makanan tradisional, itu berarti mereka sedang merawat Indonesia,” katanya.
Warga pun sepakat, kuliner tradisional adalah bahasa yang menyatukan. Tidak ada sekat, tidak ada perbedaan. Semua bisa duduk bersama, menikmati lupis atau dawet, lalu merasakan kedekatan sebagai sesama anak bangsa.
Di tengah gempuran kuliner modern, makanan nusantara ini tampil sebagai benteng identitas. Ia mengingatkan bahwa Indonesia berdiri bukan hanya karena senjata, tapi juga karena dapur-dapur yang menjaga energi rakyat.
Saat malam terakhir tiba dan bazar usai, yang tertinggal bukan sekadar kenyang, melainkan kebanggaan. Kebanggaan karena kuliner leluhur masih hidup, kebanggaan karena masyarakat berhasil merawat identitas mereka dengan sederhana tapi bermakna.
Pasar Lawas Tempeh Tengah membuktikan bahwa merawat kemerdekaan bisa dilakukan lewat rasa. Dari cenil, lupis, hingga jamu, semuanya adalah bahasa kebudayaan yang mengajarkan kesederhanaan, memberdayakan warga, dan mencerahkan generasi.
Lebih dari sekadar nostalgia, kuliner nusantara adalah identitas lokal yang menembus generasi. Ia menyatukan masa lalu dan masa depan, sekaligus meneguhkan nasionalisme dalam bentuk paling sederhana, yakni rasa yang tidak pernah lekang oleh zaman.(*)