Ragamjatim.id

Ragamjatim.id

  • Home
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Kode Etik
  • RJ Radio
  • Indeks
  • e-Magazine
  • Pemerintahan
  • Ekonomi
  • Pendidikan
  • Seni Budaya
  • Sejarah
  • Kosakata
  • Puisi
  • Music
  • Film
  • Kultur
  • Wisata
  • Tips
  • Opini
  • Coretan
  • Rilis
  • Beranda
  • Opini

Ekoteologi: Antara Spiritualitas dan Aksi Nyata

Oleh Redaksi
Sabtu, Oktober 11, 2025
Ekoteologi: Antara Spiritualitas dan Aksi Nyata

Oleh:
Sudarmin Tandi Pora (Guru PAI SMK 1 Tana Toraja)

Alam semesta bukan sekadar ruang tak berbatas, melainkan entitas hidup yang menyimpan pesan tentang keagungan, keseimbangan, dan keterpaduan ciptaan. Sejak awal mula, bumi telah melewati berbagai dinamika kehidupan yang membawa dampak nyata terhadap keseimbangan ekologis.

Degradasi lingkungan adalah pesan alam melalui rintihan bumi yang perlahan sakit. Tanah longsor, banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan bukan sekadar bencana, melainkan tanda-tanda semesta kepada manusia bahwa keseimbangan mulai rapuh. Pohon-pohon direnggut hingga akar, sungai diracuni, udara menjadi penjara tak kasat mata bagi napas kehidupan. Tanah, air, dan udara dieksploitasi seolah esok tak lagi menyisakan harapan regenerasi.

Kenyataan ini melahirkan kesadaran baru: kita hidup di era paradoks, di mana spiritualitas meningkat, tetapi krisis ekologis justru semakin memburuk. Kesadaran inilah yang melahirkan konsep ekoteologi, yaitu upaya menghubungkan relasi sakral antara manusia, Tuhan, dan semesta. Ia bukan sekadar wacana spiritual, tetapi panggilan menuju aksi nyata.

Di atas segala perbedaan agama dan keyakinan, kita dipersatukan oleh satu rumah bersama: bumi. Pertanyaannya, benarkah kita mencintai Sang Pencipta jika kita masih abai terhadap ciptaan-Nya? Di sinilah ekoteologi hadir bukan hanya untuk merenung, tetapi untuk bergerak.

Ekoteologi: Menjembatani Iman dan Alam

Secara etimologis, ekoteologi merupakan gabungan antara ekologi ilmu yang mempelajari hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya dan teologi ilmu yang mengkaji tentang Tuhan serta ajaran keagamaan. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, ekoteologi menjadi titik temu berbagai ajaran agama yang menekankan kesucian alam serta tanggung jawab manusia untuk menjaganya.

Dalam Islam, manusia disebut sebagai khalifah di bumi yang diberi amanah untuk memelihara kehidupan. Dalam Kekristenan, Kitab Kejadian menjelaskan bahwa manusia mendapat mandat ilahi untuk mengelola ciptaan Tuhan dengan penuh kasih. Ajaran Hindu mengajarkan prinsip Tri Hita Karana, yaitu keseimbangan antara manusia, Tuhan, dan alam.

Dalam ajaran Buddha, alam dianggap sebagai bagian dari kehidupan yang harus dihormati karena seluruh makhluk saling terhubung. Sementara dalam ajaran Konghucu, nilai ren atau kasih sayang meluas hingga kepada hewan dan tumbuhan. Gereja Katolik juga menegaskan pandangan ini melalui ensiklik Laudato Si’, yang menyoroti tanggung jawab moral manusia terhadap bumi.

Semua ajaran tersebut sepakat bahwa mencintai alam adalah bentuk tertinggi dari spiritualitas yang membumi. Ajaran agama tidak boleh berhenti sebagai kalimat indah dalam khotbah atau ceramah, tetapi harus menjadi kesadaran kolektif tentang tanggung jawab ekologis. Cinta kepada alam adalah bagian dari cinta kepada Tuhan, sedangkan kerusakan alam adalah bentuk pengingkaran terhadap amanah spiritual sebagai khalifah di bumi.

Cinta Alam, Cinta Kehidupan

Cinta kepada sesama manusia melahirkan kedamaian, sementara cinta kepada alam melahirkan keberlanjutan kehidupan. Alam bukan sekadar ciptaan, tetapi sahabat spiritual yang membantu manusia merenungi makna keberadaan.

Cinta alam bukan retorika romantis, melainkan bentuk penghambaan sejati. Ketika seseorang menanam pohon, mengelola sampah dengan bijak, atau menjaga sumber air, ia sesungguhnya sedang beribadah. Sebab alam adalah saksi sekaligus ladang pahala bagi mereka yang memperlakukannya dengan kasih sayang.

Keterkaitan spiritualitas dengan alam hadir dalam berbagai simbol keagamaan. Dalam ajaran Hindu, air suci atau tirta digunakan untuk penyucian diri. Dalam tradisi Kristen dan Katolik, air menjadi lambang kelahiran baru melalui baptisan. Dalam Islam, air menjadi unsur penting dalam wudu sebagai simbol penyucian diri sebelum menghadap Sang Khalik.

Umat Buddha sering melakukan meditasi di tengah hutan atau pegunungan untuk menemukan ketenangan batin. Sementara dalam ajaran Konghucu, harmoni dengan alam dipandang sebagai cerminan ketertiban moral. Semua simbol tersebut menegaskan bahwa kehidupan rohani sejati tumbuh dalam keselarasan dengan alam.

Paradoks Modern: Antara Teknologi dan Kehancuran Alam

Ironisnya, kemajuan teknologi yang seharusnya membawa kemaslahatan justru sering menjadi penyebab kehancuran ekologis. Gunung digali, laut dipenuhi limbah, udara tercemar emisi, dan hutan hanya tinggal nama. Semua dilakukan atas nama kemajuan. Namun, apakah kemajuan yang merusak tempat tinggal kita masih pantas disebut kemajuan?

Peradaban memang menuntut perubahan, tetapi kesadaran ekologis memberi peluang untuk berinovasi tanpa menghancurkan habitat kehidupan. Ekoteologi hadir sebagai kritik terhadap modernitas yang meminggirkan nilai spiritual, dan mengubah alam menjadi sekadar komoditas.

Dalam pandangan teologis, alam bukan objek, melainkan amanah. Setiap botol plastik yang dibuang sembarangan dan setiap pohon yang ditebang tanpa kendali adalah luka kecil bagi bumi, yang pada akhirnya menjadi luka besar bagi umat manusia.

Krisis iklim hari ini bukan hanya isu ilmiah, tetapi juga persoalan moral dan spiritual. Krisis air, gagal panen, dan bencana ekologis merupakan akibat dari keangkuhan manusia yang lupa bahwa bumi bukan warisan, melainkan titipan bagi generasi mendatang.

Ekoteologi menegaskan bahwa kerusakan lingkungan adalah bentuk ketidakadilan antargenerasi. Kita tengah mencederai warisan anak cucu kita dengan mewariskan udara kotor, air tercemar, dan tanah gersang. Padahal, setiap agama menjunjung tinggi nilai keadilan.

Dalam ajaran Buddha, hidup benar berarti tidak menimbulkan penderitaan bagi makhluk lain. Dalam Alkitab, manusia diminta menjadi pelayan ciptaan Tuhan, bukan penguasanya. Dan dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa kerusakan di darat dan laut adalah akibat ulah tangan manusia sendiri (QS. Ar-Rum: 41).

Peran Kementerian Agama: Bergema dan Bergerak

Kementerian Agama Republik Indonesia memiliki posisi strategis untuk menjadikan ekoteologi sebagai bagian dari pengarusutamaan moderasi beragama. Pesan cinta alam mulai diintegrasikan dalam berbagai aspek pendidikan, dakwah, dan pelayanan keagamaan.

Nilai-nilai ekoteologi kini disisipkan dalam kurikulum pendidikan keagamaan dan pelatihan penyuluh agama. Program nasional bertajuk Kemenag Ramah Lingkungan menjadi wujud nyata kepedulian institusional terhadap bumi.

Melalui program sertifikasi rumah ibadah ramah lingkungan, Kemenag mengajak masyarakat menjadikan tempat ibadah bukan hanya pusat spiritual, tetapi juga ruang inspirasi ekologis.

Penyuluhan dan dakwah ekologis lintas agama semakin digalakkan, mempertemukan umat lintas iman dalam gerakan nyata. Kegiatan seperti Gerakan Menanam Bersama, Bersih Sungai Bersama Umat, dan Dialog Lintas Iman untuk Ekologi menjadi contoh bagaimana rumah ibadah masjid, gereja, pura, vihara, dan kelenteng dapat menjadi ruang perjumpaan spiritual sekaligus ekologis.

Implementasi ekoteologi di Kementerian Agama menunjukkan bahwa nilai spiritualitas, etika, dan aksi sosial dapat disatukan untuk menghadapi krisis lingkungan yang kian kompleks. Dengan demikian, spiritualitas tidak lagi berhenti pada doa, melainkan bergerak menjadi tindakan nyata.

Aksi Nyata sebagai Umat Beriman

Perubahan besar selalu bermula dari kesadaran kecil. Di lingkungan Kementerian Agama, semangat ekoteologis diterjemahkan dalam tindakan sederhana: menciptakan kantor yang ramah lingkungan, menggunakan kertas dan energi secara bijak, mengelola limbah dengan tertib, serta melaksanakan edukasi lingkungan berbasis nilai agama.

Para guru madrasah dapat mengintegrasikan isu lingkungan dalam pembelajaran sehari-hari. Kurikulum Cinta yang dicanangkan Kemenag juga menempatkan cinta kepada alam sebagai nilai dasar pendidikan. Para penyuluh agama dapat mengajak masyarakat menanam pohon sebagai bagian dari amal jariah, sementara ASN Kemenag dapat menjadi teladan gaya hidup hemat energi dan empatik terhadap ekosistem sekitar.

Di lingkungan keluarga, gerakan cinta alam dapat dimulai dari hal-hal kecil: memilah sampah rumah tangga, menanam tanaman obat di halaman, dan mengajarkan anak-anak untuk mensyukuri setiap ciptaan Tuhan. Semua tindakan kecil ini adalah bentuk nyata cinta kepada alam, kehidupan, dan Sang Pencipta.

Bumi sebagai Kitab Kedua

Setiap agama memiliki kitab suci, namun sesungguhnya kita juga diberi kitab lain yang tak tertulis: alam semesta. Ia tidak bersabda, tetapi mengajarkan. Ia tidak memerintah, tetapi menyadarkan. Ia tidak bersuara, tetapi penuh makna.

Membaca alam adalah bentuk ibadah yang halus dan mendalam. Daun-daun adalah zikir yang bergemerisik, air adalah firman yang mengalir, dan angin adalah doa yang berembus lembut. Semua menjadi ayat-ayat kehidupan yang meneguhkan kehadiran Tuhan dalam setiap denyut semesta.

Ekoteologi adalah panggilan untuk menyeimbangkan spiritualitas dan aksi. Ia tidak menuntut manusia menjadi aktivis ekstrem, melainkan hamba yang sadar bahwa cinta kepada Tuhan tidak mungkin terpisah dari cinta kepada ciptaan-Nya.

“Cinta alam, cinta kehidupan” bukan sekadar slogan, melainkan etos hidup baru bagi umat beriman di tengah dunia yang kian renta. Ia dimulai dari halaman rumah, dari pilihan konsumsi yang bijak, dari doa yang tidak hanya menggema di langit, tetapi juga menyentuh tanah dengan kasih.
Tags:
  • Opini
Bagikan:
Baca juga
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Berita terkait
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Berita terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Tampilkan Semua
Posting Komentar
Batal
Most popular
  • Jenis Kelabang di Indonesia yang Berbahaya

    Kamis, Mei 01, 2025
    Jenis Kelabang di Indonesia yang Berbahaya
  • 10 Senjata Tradisional Jawa Timur, Kenali Filosofinya

    Selasa, Mei 07, 2024
    10 Senjata Tradisional Jawa Timur, Kenali Filosofinya
  • 10 Komunitas Anak Muda Kreatif di Surabaya, Beserta Kegiatan dan Tujuannya

    Jumat, Juli 25, 2025
    10 Komunitas Anak Muda Kreatif di Surabaya, Beserta Kegiatan dan Tujuannya
  • 15 Motif Batik Jawa Timur, Kenali ciri dan Filosofinya

    Rabu, Mei 15, 2024
    15 Motif Batik Jawa Timur, Kenali ciri dan Filosofinya
  • Apa yang Harus Dilakukan Jika Digigit Kelabang

    Kamis, Mei 01, 2025
    Apa yang Harus Dilakukan Jika Digigit Kelabang
  • Kaliklatak: Jejak Sunyi Kolonial di Lereng Banyuwangi yang Belum Lekang Waktu

    Rabu, Juli 09, 2025
    Kaliklatak: Jejak Sunyi Kolonial di Lereng Banyuwangi yang Belum Lekang Waktu
Ragamjatim.id
Copyright © 2025 Ragamjatim.id All rights reserved.
Live