Update

Asmara Berdarah: Skandal Cinta dari Medang hingga Majapahit yang Menggetarkan Sejarah Nusantara

Dalam perjalanan sejarah Nusantara, cinta tak hanya mewarnai kisah rakyat jelata. Ia juga menjelma menjadi percikan api di balik kudeta, konflik berdarah, bahkan keruntuhan kerajaan besar. Dari Kerajaan Medang hingga Majapahit, sejarah mencatat bagaimana kisah cinta yang menyimpang dari takdir justru menciptakan lembar-lembar sejarah yang dikenang hingga hari ini.

RagamJatim.id
– Dalam perjalanan sejarah Nusantara, cinta tak hanya mewarnai kisah rakyat jelata. Ia juga menjelma menjadi percikan api di balik kudeta, konflik berdarah, bahkan keruntuhan kerajaan besar. Dari Kerajaan Medang hingga Majapahit, sejarah mencatat bagaimana kisah cinta yang menyimpang dari takdir justru menciptakan lembar-lembar sejarah yang dikenang hingga hari ini.

Tak sekadar dongeng, jejak kisah ini dapat dilacak melalui kitab kuno seperti Pararaton, Negarakertagama, hingga berbagai prasasti peninggalan zaman kerajaan. Inilah kisah nyata yang tercatat dalam aksara dan diwariskan lewat naskah-naskah leluhur.

1. Pecahnya Wangsa Sailendra dan Sanjaya: Skandal Balaputradewa dan Politik Perkawinan

Pada abad ke-8 hingga ke-9, Jawa Tengah menjadi pusat kekuasaan dua wangsa besar: Sanjaya dan Sailendra. Balaputradewa, putra dari Samaratungga (raja dari Wangsa Sailendra) dikisahkan menjalin ikatan dengan seorang putri dari Wangsa Sanjaya. Aliansi ini semula diharapkan menjadi solusi damai antara dua wangsa yang berbeda ideologi (Buddha dan Hindu), namun justru menimbulkan perebutan kekuasaan.

Dalam Prasasti Nalanda (860 M) yang ditemukan di India Timur, tercatat bahwa Balaputradewa kemudian menjadi Maharaja Sriwijaya setelah kalah dalam perebutan tahta di Jawa. Hal ini mengindikasikan pecahnya hubungan antara Wangsa Sailendra dan Sanjaya yang sebagian disulut oleh intrik keluarga dan pernikahan politik yang gagal.

Kisah cinta yang bertujuan menyatukan dua dinasti malah berujung pada migrasi kekuasaan dan lahirnya pusat peradaban baru di Sumatera.

2. Ken Dedes dan Ken Arok: Kudeta, Nafsu, dan Kutukan Keris Empu Gandring

Kisah cinta segitiga antara Ken Dedes, Tunggul Ametung, dan Ken Arok adalah salah satu narasi paling dramatis dalam sejarah Jawa. Dalam Pararaton (Kitab Raja-Raja), Ken Dedes disebut sebagai wanita jelita yang "bercahaya dari pahanya", pertanda ia akan menurunkan garis raja. Ken Arok, pemuda ambisius dari kalangan rendahan, jatuh cinta dan berambisi merebutnya dari Tunggul Ametung, penguasa Tumapel.

Dengan keris buatan Empu Gandring, Ken Arok membunuh Tunggul Ametung dan menikahi Ken Dedes. Namun kutukan keris itu berbuntut panjang: Ken Arok sendiri akhirnya terbunuh oleh Anusapati, putra Ken Dedes dari suami pertamanya. Pararaton menuliskan tragedi berdarah ini sebagai asal mula berdirinya Kerajaan Singhasari.

3. Anusapati dan Skandal Pembalasan Berdarah

Masih dari Pararaton, Anusapati tumbuh besar dengan menyimpan dendam kepada Ken Arok yang membunuh ayah kandungnya. Dalam versi babad, tersirat bahwa dendam itu diperkuat oleh adanya cinta dan rivalitas tersembunyi di lingkungan istana. Anusapati kemudian membunuh Ken Arok dengan keris yang sama mewarisi tak hanya dendam, tapi juga kutukan Empu Gandring.

Namun ia sendiri akhirnya dibunuh oleh Tohjaya, anak Ken Arok dari istri lain. Lingkaran pembalasan berdarah ini adalah bukti nyata bagaimana cinta dan dendam bisa menjadi warisan turun-temurun dalam politik istana Jawa.

4. Kudeta Jayakatwang: Cinta dan Pengkhianatan dari Dalam Istana

Menjelang runtuhnya Kerajaan Singhasari (akhir abad ke-13), Jayakatwang dari Kadiri berhasil melancarkan kudeta terhadap Raja Kertanegara. Sumber dari Negarakertagama dan Pararaton tidak menyebutkan secara gamblang motif pribadi, tetapi beberapa babad lokal menyiratkan adanya kedekatan Jayakatwang dengan seorang perempuan dari dalam lingkar kerajaan Singhasari—entah seorang selir atau putri istana.

Kedekatan itu memungkinkan Jayakatwang mendapatkan informasi penting soal kelemahan pertahanan dalam negeri. Saat Kertanegara sibuk dengan ekspedisi Pamalayu, pasukan Jayakatwang menyerbu dari belakang dan membunuh sang raja. Kudeta ini membuka jalan bagi lahirnya Kerajaan Majapahit.

5. Perang Bubat: Cinta Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka yang Terkubur Ego Politik

Peristiwa Perang Bubat (1357 M) adalah tragedi cinta dan diplomasi yang gagal. Dalam Negarakertagama (karya Mpu Prapanca), disebutkan bahwa Hayam Wuruk berniat menikahi Dyah Pitaloka Citraresmi dari Kerajaan Sunda. Namun dalam Pararaton dan Kidung Sundayana, diceritakan bahwa Gajah Mada memaksa agar sang putri datang sebagai bentuk takluk, bukan sebagai calon permaisuri.

Peristiwa di lapangan menjadi tragis: rombongan Sunda diserang di Padang Bubat, dan Dyah Pitaloka memilih pati wibawa (bunuh diri menjaga kehormatan). Perang ini menyisakan trauma diplomatik dan mempertegas bahwa cinta di era kerajaan pun bisa menjadi korban dari ambisi kekuasaan.

Jejak Prasasti dan Kitab: Ketika Cinta Diukir dalam Batu dan Lembar Lontar

Sebagian besar kisah asmara dan skandal politik ini tidak hanya diwariskan lewat cerita rakyat atau babad, tetapi tercatat dalam berbagai sumber sejarah:

Prasasti Nalanda (India) – menyebut migrasi Balaputradewa dari Jawa ke Sriwijaya.

Pararaton – mencatat lengkap silsilah dan konflik berdarah dalam keluarga Ken Arok.

Negarakertagama – menggambarkan pemerintahan Hayam Wuruk, termasuk niatan menikah dengan putri Sunda.

Prasasti Kudadu – mendukung cerita pelarian Raden Wijaya dari keruntuhan Singhasari menuju pendirian Majapahit.

Kidung Sundayana – menyampaikan narasi rakyat mengenai tragedi Bubat dan sosok Dyah Pitaloka.

Penutup: Cinta yang Mengubah Peta Nusantara

Sejarah tidak selalu ditulis oleh pedang. Kadang, ia digoreskan oleh luka dalam hati—oleh cinta yang tak sempat menyatu, oleh ambisi yang menutupi rasa, dan oleh keputusan yang lebih mementingkan takhta daripada cinta sejati. Dari Medang hingga Majapahit, skandal asmara menjadi bahan bakar bagi perubahan besar dalam sejarah Nusantara.

Karena itu, sejarah bukan sekadar peristiwa, tapi juga rasa. Dan cinta, dengan segala pesonanya, tetap menjadi tokoh utama dalam panggung masa lalu kita.

Penulis: Redaksi RagamJatim.id
Editor: Tim Historia Ragam
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar