Mengungkap Cerita yang Relief Candi Jago: Jejak Spiritual dan Moral Kerajaan Singasari
0 menit baca
Malang, RagamJatim.id – Tersembunyi di Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Candi Jago berdiri sebagai saksi bisu kejayaan Kerajaan Singasari pada abad ke-13.
Dibangun sekitar tahun 1268–1280 Masehi sebagai tempat pendharmaan Raja Wisnuwardhana, candi ini bukan sekadar monumen batu, tetapi sebuah “buku terbuka” yang menyimpan kisah-kisah penuh makna melalui relief-reliefnya.
Relief yang terpahat di kaki dan tubuh candi ini menceritakan nilai-nilai moral, spiritual, dan budaya, memadukan ajaran Hindu dan Buddha dalam corak Siwa-Buddha yang khas.
Apa saja cerita yang terukir di dinding Candi Jago, dan bagaimana relief ini mencerminkan kehidupan masyarakat masa itu
Candi Jago: Monumen Pendharmaan dan Pusat Ajaran Moral Candi Jago, yang dalam Kitab Negarakertagama (pupuh 41:4) disebut Jajaghu (bermakna “keagungan”), dibangun untuk mengenang Raja Wisnuwardhana, raja Singasari yang wafat pada 1268 Masehi.
Menurut Pararaton, candi ini menjadi tempat pendharmaan Wisnuwardhana sebagai Siwa dan Buddha (Amoghapasa), mencerminkan sinkretisme agama pada masa itu.
Struktur candi berbentuk punden berundak dengan tiga teras, namun kini hanya menyisakan bagian kaki dan sebagian tubuh candi akibat kerusakan alam dan waktu.Relief-relief di Candi Jago, yang terpahat dalam gaya dua dimensi menyerupai wayang kulit, membedakannya dari relief tiga dimensi pada candi Jawa Tengah seperti Borobudur dan Prambanan.
Menurut sejarawan Universitas Negeri Malang, Dr. Dwi Cahyono, relief ini bukan hanya seni, tetapi juga media pendidikan.
“Relief Candi Jago seperti kitab suci yang terpahat di batu. Setiap cerita dirancang untuk mengajarkan nilai-nilai budi pekerti, dharma, dan kesetiaan kepada masyarakat, dari petani hingga bangsawan,” ungkapnya.
Berikut adalah cerita-cerita yang terukir dalam relief Candi Jago, lengkap dengan makna dan konteks sejarahnya:
1. Relief Tantri Kamandaka: Kisah Fabel Penuh Hikmah Lokasi: Kaki candi, teras pertama, bagian barat laut hingga timur.Cerita: Relief Tantri Kamandaka diadaptasi dari Pancatantra, kumpulan fabel India yang diolah dalam tradisi Jawa Kuno.
Cerita ini menggunakan tokoh-tokoh binatang untuk menyampaikan ajaran moral. Salah satu kisah terkenal adalah tentang dua kura-kura yang ingin terbang dengan bantuan angsa.
Mereka menggigit ranting yang dibawa angsa, tetapi karena menjawab ejekan serigala, mereka jatuh dan dimakan. Cerita lain meliputi kisah singa dan lembu (tentang persahabatan yang diuji keserakahan), bangau dan ketam (tentang pengkhianatan), serta lembu dan buaya (tentang keberanian).
Makna: Relief ini mengajarkan nilai-nilai seperti menjaga perkataan, menghindari godaan, dan pentingnya kerja sama. Dalam konteks masyarakat agraris Singasari, cerita ini relevan untuk mengedukasi rakyat tentang etika sosial.
Sumber Sejarah: Menurut penelitian epigrafi oleh Hasan Djafar, Tantri Kamandaka juga ditemukan dalam naskah-naskah Jawa Kuno yang disusun pada masa Singasari dan Majapahit, menunjukkan popularitasnya sebagai alat pendidikan.
“Janganlah mulutmu membuka celah bagi musibah, sebab kata-kata yang ceroboh membawa kematian.” (Tantri Kamandaka, terjemahan bebas dari naskah Jawa Kuno).
2. Relief Kunjarakarna: Perjalanan Spiritual Menuju PencerahanLokasi: Kaki candi, teras pertama (sudut timur laut) hingga teras kedua (barat daya).
Cerita: Relief ini mengisahkan Yaksa Kunjarakarna, seorang raksasa yang ingin bereinkarnasi sebagai manusia rupawan. Ia bertapa di Gunung Semeru dan memohon kepada Dewa Wairocana (Buddha tertinggi) untuk mempelajari ajaran Buddha.
Wairocana memerintahkan Kunjarakarna mengunjungi Yamaniloka, dunia dewa Yama, untuk melihat surga dan neraka.
Di sana, ia menyaksikan nasib arwah: yang berbuat baik masuk surga, sementara yang berdosa disiksa di neraka, seperti dicambuk atau direbus dalam kuali.Makna: Relief ini mencerminkan ajaran Buddha Mahayana tentang karma dan dharma.
Ia mengingatkan masyarakat untuk menjalani hidup penuh kebajikan demi mencapai pencerahan.
Sumber Sejarah: Cerita Kunjarakarna diadaptasi dari teks Buddha Jawa Kuno Kunjarakarna Dharmakathana, yang juga disebut dalam prasasti-prasasti Singasari.
Menurut Arlo Griffiths (2024), relief ini menunjukkan pengaruh kuat Buddha Mahayana di Jawa Timur.
“Hanya dengan menjalani dharma, manusia dapat terbebas dari siksa neraka dan mencapai kebahagiaan abadi.” (Kunjarakarna Dharmakathana, terjemahan bebas).
3. Relief Angling Darma: Kesetiaan dan Rahasia SuciLokasi: Kaki candi, penampil selatan, beberapa panel.Cerita: Relief ini menceritakan Angling Darma, raja Malawapati, yang mendapat anugerah Ajian Aji Gineng dari Raja Naga Antaboga, memungkinkannya memahami bahasa binatang.
Ia dilarang membagikan rahasia ini kepada istrinya, Setyawati. Ketika Setyawati memaksa, Angling Darma menolak, dan Setyawati bersumpah untuk “mati obong” (terbakar) sebagai bentuk protes.
Cerita ini unik karena hanya ditemukan di Candi Jago dan mencerminkan nilai-nilai lokal Jawa.Makna: Kisah ini menekankan pentingnya kesetiaan pada janji suci dan tanggung jawab menjaga rahasia spiritual.
Ini juga menggambarkan konflik batin dalam hubungan keluarga.Sumber Sejarah: Pararaton menyebutkan tokoh-tokoh seperti Angling Darma dalam konteks mitologi Jawa, meskipun cerita lengkapnya lebih banyak ditemukan dalam tradisi lisan yang kemudian diukir di candi.
“Rahasia suci adalah amanah dari dewa; melanggarnya adalah pengkhianatan terhadap leluhur.” (Tradisi lisan Jawa, dikaitkan dengan Angling Darma).
4. Relief Parthayajna: Tragedi Judi dan Pengasingan PandawaLokasi: Teras pertama, dari sudut barat daya hingga timur laut.Cerita: Diadaptasi dari Mahabharata, relief ini mengisahkan permainan judi antara Pandawa dan Kurawa.
Karena kecurangan Kurawa yang dibantu Sengkuni, Yudistira (Pandawa) kehilangan harta, kerajaan, dan bahkan Drupadi, istri mereka, sebagai taruhan. Drupadi nyaris dilucuti oleh Duryodana, tetapi kainnya secara ajaib memanjang, melindungi kehormatannya.
Akibat kekalahan, Pandawa diasingkan ke hutan selama 15 tahun.Makna: Relief ini mengajarkan tentang keadilan, ketahanan dalam penderitaan, dan perlindungan ilahi terhadap kehormatan. Ia juga mengkritik sifat serakah dan kecurangan.
Sumber Sejarah: Kisah ini diadaptasi dari Mahabharata versi Jawa Kuno, yang juga ditemukan dalam kakawin Bharatayuddha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pada masa Kediri.
“Keadilan akan selalu melindungi yang benar, meski dunia berpaling darinya.” (Bharatayuddha, terjemahan bebas).
5. Relief Arjunawiwaha: Ujian Spiritual ArjunaLokasi: Teras kedua dan ketiga, berlanjut dari Parthayajna.Cerita: Berdasarkan kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa (abad ke-11), relief ini mengisahkan Arjuna yang bertapa di Gunung Indrakila untuk mendapatkan senjata sakti guna melawan Kurawa.
Ia diuji oleh para dewa yang mengirim tujuh apsara (bidadari) untuk menggodanya, tetapi Arjuna tetap teguh. Ia kemudian menghadapi raksasa Niwatakawaca dan berhasil mengalahkannya, mendapat hadiah perkawinan dengan Dewi Suprabha dari Bhatara Guru.
Makna: Relief ini menekankan disiplin spiritual, keteguhan hati, dan kemenangan atas godaan duniawi, yang relevan bagi para petapa dan ksatria pada masa Singasari.
Sumber Sejarah: Kakawin Arjunawiwaha menjadi rujukan utama, ditulis pada masa Raja Airlangga dan tetap populer pada era Singasari.
“Hanya dengan menguasai diri, seorang ksatria dapat mengalahkan musuh sejati: nafsu duniawi.” (Arjunawiwaha, pupuh 12).
6. Relief Kresnayana (Kalayawanantaka): Kemenangan Kresna atas KejahatanLokasi: Tubuh candi, sisi kanan dan kiri pintu masuk.Cerita: Relief ini mengisahkan pertempuran Kresna (inkarnasi Dewa Wisnu) melawan raksasa Kalayawana, yang ingin menghancurkan kerajaan Kresna dan Baladewa.
Dengan kecerdasan, Kresna memikat Kalayawana ke gua tempat Mpu Muchukunda bersemedi. Mata berapi Muchukunda membakar Kalayawana hingga tewas.
Relief ini juga dianggap sebagai pengantar cerita Kresnayana, yang menggambarkan kehidupan Kresna dan pernikahannya dengan Naraya Waningyun, yang diasosiasikan dengan Ratu Dedes dan Ken Arok.
Makna: Relief ini melambangkan kemenangan kebaikan atas kejahatan dan pentingnya strategi dalam menghadapi musuh.
Sumber Sejarah: Cerita ini diambil dari Kakawin Kresnayana, yang ditulis pada masa Singasari untuk memuliakan Wisnuwardhana sebagai titisan Wisnu.
“Keberanian tanpa kebijaksanaan adalah kehancuran; kebijaksanaan tanpa keberanian adalah sia-sia.” (Kresnayana, terjemahan bebas).
Makna Keseluruhan dan Fungsi ReliefRelief-relief di Candi Jago dirancang dalam urutan pradaksina (berjalan searah jarum jam), mengajak pengunjung untuk merenungi perjalanan spiritual dari kehidupan duniawi (Tantri Kamandaka) hingga pencerahan (Kunjarakarna, Arjunawiwaha).
Menurut Dr. Lydia Kieven, pakar seni candi Jawa Timur, “Relief Candi Jago adalah cerminan kehidupan masyarakat Singasari yang penuh dinamika, dari konflik sosial hingga pencarian makna hidup.”
Urutan cerita juga mencerminkan fungsi candi sebagai tempat pendharmaan, di mana relief-relief ini menggambarkan pelepasan dan transisi menuju alam keabadian.Relief ini juga unik karena menggabungkan unsur lokal Jawa (Angling Darma) dengan tradisi India (Pancatantra, Mahabharata). Gaya seni dua dimensinya menyerupai wayang kulit, menunjukkan perkembangan seni lokal yang berbeda dari tradisi Jawa Tengah.
Namun, kerusakan candi membuat beberapa relief, terutama di bagian puncak, sulit diidentifikasi, kemungkinan terkait kelanjutan Kresnayana.Edukasi bagi Masyarakat ModernCandi Jago bukan hanya situs arkeologi, tetapi juga sumber inspirasi bagi masyarakat modern.
Relief-reliefnya mengajarkan nilai-nilai universal:
Etika Sosial: Tantri Kamandaka mengingatkan pentingnya menjaga perkataan dan kerja sama.
Spiritualitas: Kunjarakarna dan Arjunawiwaha menekankan disiplin batin untuk mencapai kebahagiaan sejati.
Keadilan dan Kesetiaan: Parthayajna dan Angling Darma mengajarkan pentingnya keadilan dan menepati janji.
Kebijaksanaan: Kresnayana menunjukkan bahwa keberanian harus dipadukan dengan strategi cerdas.
Bagi pelajar dan wisatawan, mengunjungi Candi Jago adalah kesempatan untuk memahami kehidupan masyarakat Singasari, yang penuh dengan keseimbangan antara dunia material dan spiritual.
Pemerintah Kabupaten Malang kini tengah berupaya melestarikan situs ini dengan menambah papan informasi dan tur edukasi.Tantangan PelestarianSayangnya, Candi Jago menghadapi ancaman kerusakan akibat cuaca, erosi, dan kurangnya perawatan.
Menurut laporan BPCB Jawa Timur (2023), sekitar 30% relief di teras atas telah hilang atau rusak parah.
Upaya pelestarian membutuhkan dana besar dan kesadaran masyarakat untuk menjaga situs ini sebagai warisan budaya.
Penutup:
Candi Jago sebagai Cermin NusantaraCandi Jago adalah harta karun sejarah yang menceritakan kehidupan, kepercayaan, dan nilai-nilai masyarakat Singasari melalui relief-reliefnya.
Dari kisah fabel Tantri Kamandaka hingga epik Kresnayana, setiap ukiran adalah pelajaran tentang kehidupan, moral, dan spiritualitas. Seperti dikatakan Dr. Dwi Cahyono,
“Candi Jago adalah cermin jiwa Nusantara. Melupakannya berarti melupakan jati diri kita.”Mari kunjungi Candi Jago, telusuri relief-reliefnya, dan temukan inspirasi dari leluhur kita.
Dengan memahami cerita-cerita ini, kita tidak hanya melestarikan sejarah, tetapi juga mewarisi kebijaksanaan untuk masa depan.
Penulis: Tim Redaksi RagamJatim.id