Update

Kemiren: Suara Leluhur yang Terjaga di Punggung Banyuwangi

Di lereng sunyi Gunung Ijen, ada sebuah kampung yang menolak larut dalam gempuran modernitas. Kampung itu bernama Kemiren

Banyuwangi, RagamJatim.id
– Di lereng sunyi Gunung Ijen, ada sebuah kampung yang menolak larut dalam gempuran modernitas. Kampung itu bernama Kemiren, jantung dari masyarakat adat Osing suku asli Banyuwangi yang terus bersetia pada akar budaya, bahasa, dan ritual leluhurnya. Di kampung ini, identitas bukan sekadar warisan, tapi sebuah sumpah diam-diam kepada tanah dan waktu.

Tak seperti banyak desa wisata lain yang dikemas artifisial, Kampung Adat Kemiren hidup sebagaimana adanya: tanpa pura-pura, tanpa dekorasi palsu. Di sinilah kita bisa menyaksikan bagaimana sebuah komunitas adat bertahan dalam zaman yang semakin gemar melupakan asal-usulnya.

Osing: Ketika Leluhur Menyebut Namamu

Masyarakat Osing diyakini sebagai keturunan dari Kerajaan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa yang runtuh pada abad ke-18 akibat tekanan dari Kesultanan Mataram dan penjajahan Belanda. Mereka memilih untuk bertahan, berpindah ke lembah-lembah gunung, dan mempertahankan bahasa, kepercayaan, dan struktur sosial khasnya.

Hingga hari ini, bahasa Osing masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya di dapur rumah atau saat berbicara dengan orang tua, tetapi juga di sekolah, rapat desa, dan panggung pertunjukan rakyat. Kemiren dan kampung-kampung Osing lain menjadi semacam "benteng sunyi" bagi bahasa yang tak ditemukan di tempat lain.

“Seng penting ojo ngilangno basa Osing, nek ilang basane, ilang awakmu,” kata Pak Sumarto (68), tetua adat Kemiren.

Arsitektur dan Lanskap: Rumah Limasan, Jalan Batu, dan Pohon Leluhur

Masuk ke Kampung Kemiren serasa masuk ke lorong waktu. Rumah-rumah berarsitektur limasan berdiri dengan tiang-tiang kayu jati asli. Pintu dan jendelanya dibiarkan terbuka menghadap jalan setapak dari batu andesit. Tak ada pagar tinggi. Antara rumah dan jalan, hanya dibatasi kesadaran dan saling percaya.

Di tengah kampung berdiri Pohon Keben tua yang diyakini sebagai penunggu desa. Warga menyebutnya sebagai "tunggul tuwo", simbol keberlanjutan dan kesetiaan pada semesta.

Tradisi dan Ritual: Dari Barong Ider Bumi hingga Tumpeng Sewu

Budaya Osing bukan sekadar pakaian adat dan tari-tarian. Ia hidup dalam ritual agraris, upacara keluarga, dan kalender spiritual masyarakat.

Salah satu ritual paling kuat adalah “Barong Ider Bumi”, digelar setiap 2 Syawal (Idul Fitri +1), ketika barong menari dari ujung ke ujung kampung untuk membersihkan bumi dari bala dan penyakit. Ritual ini bukan tontonan, melainkan doa kolektif yang berjalan dengan irama kendang dan gong.

Lalu ada Tumpeng Sewu, tradisi unik tahunan di mana warga menyusun lebih dari seribu tumpeng di jalan kampung sebagai simbol syukur panen. Para ibu memasaknya bersama, lalu dimakan bersama tanpa kasta atau pemisah sosial.

Tantangan Zaman: Antara Pariwisata dan Pelestarian

Sejak ditetapkan sebagai Kampung Adat oleh Pemkab Banyuwangi pada 2016, Kemiren menjadi magnet wisata budaya. Tapi di balik kebanggaan itu, ada juga kecemasan: akankah identitas Osing menjadi sekadar tontonan?

“Yang datang ke sini kadang cuma ingin selfie pakai udeng. Tapi tidak paham makna di balik rumah, bahasa, atau sesajen,” keluh Mbok Siti, pengrajin batik Osing.

Warga Kemiren kini perlahan menyusun ulang cara menyambut wisatawan. Tak sekadar menjadi latar foto, mereka mengajak pengunjung memahami filosofi di balik budaya. Ada kelas bahasa Osing, workshop tari Gandrung, hingga pelatihan pertanian organik khas Osing.

Harapan dan Pewarisan: Masa Depan Osing di Tangan Anak Muda

Meskipun generasi muda Osing kini akrab dengan teknologi, banyak dari mereka tetap memilih untuk kembali ke akar. Komunitas pemuda seperti Rikma Osing dan Sanggar Seblang Putri rutin mengadakan pelatihan budaya, belajar dari tetua desa, dan membumikan adat dengan pendekatan kekinian.

Di sekolah-sekolah, muatan lokal Osing mulai dimasukkan sebagai pelajaran ekstrakurikuler. Bahkan beberapa dosen dari luar negeri datang meneliti kekayaan budaya Osing, terutama dalam hal sistem linguistik dan spiritualitas agrarisnya.

Kesimpulan: Ketika Identitas Bukan Sekadar Pakaian, Tapi Cara Hidup

Kampung Kemiren bukan museum. Ia hidup, bernafas, dan bergerak. Dalam tiap suara barong, tiap patah kata Osing, dan tiap tumpeng yang tersaji, tercermin sikap hidup masyarakat yang tidak tunduk pada lupa.

Osing bukan hanya suku. Ia adalah cermin kita tentang bagaimana seharusnya masyarakat Jawa Timur menjaga apa yang tak bisa digantikan oleh gedung tinggi atau koneksi internet: jati diri.
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar